Jumat, 24 Des 2010 13:08:16 WIB | Oleh : Sumarwoto
Jika Indonesia disebut "supermarket bencana", Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah adalah "minimarket"-nya.
Sedikitnya ada lima bencana yang mengancam sejumlah wilayah di Kabupaten Cilacap, yakni tsunami, gempa bumi, banjir, tanah longsor, dan angin puting beliung.
Akan tetapi dari sekian banyak ancaman bencana tersebut, banjirlah yang kerap menghantui Kabupaten Cilacap di saat musim hujan, disusul tanah longsor dan angin puting beliung.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap menyatakan dari 24 kecamatan yang ada Kabupaten Cilacap, terdapat 10 kecamatan yang rawan banjir, 13 kecamatan rawan longsor, dan 17 kecamatan rawan terjangan angin kencang.
Sementara berdasarkan catatan ANTARA selama tahun 2010, hampir setiap bulan di Kabupaten Cilacap terjadi banjir yang merendam permukiman penduduk maupun sawah-sawah di berbagai kecamatan.
Bahkan, sejumlah kecamatan di kabupaten ini berulang kali diterjang banjir selama tahun 2010, antara lain Sidareja, Gandrungmangu, Bantarsari, Kroya, dan Nusawungu.
Salah satu fenomena menarik penyebab terjadinya banjir di sejumlah kecamatan di Kabupaten Cilacap adalah bukan semata-mata karena guyuran hujan deras melainkan wilayah tersebut merupakan daerah cekungan, misalnya Kecamatan Sidareja dan Desa Mujur di Kecamatan Kroya.
Banjir akan tetap terjadi meskipun wilayah tersebut tidak diguyur hujan, selama ada hujan deras di daerah hulu sungai.
Selain itu, banjir di daerah cekungan yang berada di sejumlah kecamatan di wilayah barat Kabupaten Cilacap juga dipengaruhi kondisi Laguna Segara Anakan yang mengalami pendangkalan akibat tingginya laju sedimentasi dari sungai-sungai yang bermuara di tempat tersebut.
Dengan demikian, di saat debit air sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan ini tinggi akibat adanya hujan deras, aliran airnya tidak bisa masuk ke tempat tersebut hingga akhirnya meluap dan menggenangi wilayah yang dilaluinya terutama di daerah cekungan.
Seperti halnya di Kecamatan Sidareja yang selama tahun 2010 sedikitnya tiga kali dilanda banjir. Wilayah yang berada pada ketinggian 0,5-1 meter di atas permukaan laut ini dilalui sejumlah anak sungai Citanduy yang bermuara di Segara Anakan, antara lain Sungai Cibereum.
Jika curah hujan di bagian hulu Sungai Cibereum tinggi, dapat dipastikan sebanyak tujuh desa di Kecamatan Sidareja tergenang banjir akibat luapan sungai tersebut meskipun wilayah ini tidak hujan.
Banjir akan semakin parah jika hujan deras juga mengguyur wilayah Kecamatan Sidareja.
Demikian pula banjir di Kecamatan Majenang yang selalu menggenangi empat desa, yakni Pahonjean, Mulyasari, Mulyadadi, dan Padangsari akibat luapan Sungai Cikawung yang merupakan anak sungai Citanduy di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Fenomena penyebab banjir khususnya yang sering terjadi di wilayah dekat perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat ini diakui Sekretaris BPBD Cilacap Suherman.
"Salah satu penyebab banjir di wilayah Majenang, Sidareja, dan sekitarnya adalah luapan sungai-sungai yang bermuara di Segara Anakan akibat adanya pendangkalan di sana," katanya.
Salah satu antisipasi banjir tersebut, kata dia, pernah digulirkan wacana pembuatan sudetan Sungai Citanduy.
Akan tetapi, lanjutnya, wacana tersebut hingga saat ini belum terealisasi lantaran pemerintah provinsi Jawa Barat keberatan jika dilakukan penyudetan Sungai Citanduy karena akan bermuara di Pantai Pananjung, Pangandaran, Kabupaten Ciamis, sehingga akan berdampak pada sektor pariwisata yang dikembangkan di wilayah tersebut.
Segara Anakan
Kepala Kantor Pengelola Sumber Daya Kawasan Segara Anakan (KPSKSA) Kabupaten Cilcap Supriyanto mengatakan, volume lumpur yang masuk ke kawasan Segara Anakan per tahun rata-rata satu juta meter kubik.
Menurut dia, luas laguna Segara Anakan yang semula 6.460 hektar (1903) menjadi 700 hektar akibat endapan lumpur dari Sungai Citanduy dan Sungai Cimeneng.
Sungai-sungai tersebut, kata dia, berada di enam kabupaten/kota yakni Ciamis, Kota Banjar Kota, Tasikmalaya, dan Kabupaten Kuningan di Jabar yang dilalui Sungai Citanduy, serta Cilacap dan Banyumas di Jateng yang dilalui Sungai Cimeneng.
Meskipun demikian, lanjutnya, sedimentasi terparah berasal dari Sungai Citanduy karena menyumbangkan 760.000 meter kubik lumpur per tahun dan sisanya dari Sungai Cimeneng.
Ia mengatakan, salah satu upaya untuk mengurangi pendangkalan di Segara Anakan dan sebagai antisipasi banjir di daerah aliran sungai yang bermuara di tempat ini adalah melalui pengerukan seperti yang dilakukan pada tahun 2004 silam.
"Tahun 2009 lalu memang sempat muncul wacana pengerukan Segara Anakan pada 2011, tetapi hingga saat ini belum ada kepastian. Oleh karena itu, beberapa waktu lalu Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo menyurati Presiden terkait masalah sedimentasi Laguna Segara Anakan," katanya.
Terkait rencana pengerukan tersebut, dia mengatakan, kegiatan tersebut seharusnya diawali dengan kajian awal. Namun pada 2009 tidak ada rekanan yang mendaftar untuk melakukan kajian awal sehingga tak memenuhi syarat tender.
"Kegiatan itu pada 2010 tidak dianggarkan. Dengan demikian, rencana pengerukan pada 2011 tidak ada kepastian," katanya.
Sementara itu, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citanduy di Kota Banjar, Jawa Barat, menyatakan banjir yang terjadi di Cilacap bukan semata-mata disebabkan pendangkalan Segara Anakan, melainkan akibat tingginya curah hujan di wilayah tersebut.
"Curah hujannya sangat tinggi. Jadi bukan semata-mata karena Segara Anakan," kata Kepala BBWS Citanduy, Agus Raharjo.
Menurut dia, pengaruh pendangkalan Laguna Segara Anakan terhadap terjadinya banjir tersebut sangat kecil meskipun sejumlah daerah aliran sungai (DAS) yang berada di bawah pengawasan BBWS Citanduy bermuara di tempat itu.
DAS di bawah pengawasan BBWS Citanduy yang bermuara di Laguna Segara Anakan, antara lain Sungai Cibereum yang menyebabkan banjir di Kecamatan Kawunganten dan Sungai Cimeneng yang mengakibatkan banjir di Kecamatan Gandrungmangu, Bantarsari, dan Kampunglaut serta Sungai Cikawung di Majenang.
Disinggung mengenai kemungkinan adanya rencana pengerukan Laguna Segara Anakan, Agus mengatakan, hingga saat ini belum ada rencana kegiatan tersebut.
Kendati demikian, dia mengatakan, pihaknya saat ini mengeruk alur-alur sungai yang kondisinya menyempit.
"Kami juga memiliki konsep penataan lahan di bagian hulu dengan melibatkan sektor lain. Dari sisi pekerjaan umum, kami membuat sejumlah cek dam," katanya.
Secara komprehensif, kata dia, BBWS Citanduy saat ini sedang menyusun pola pengelolaan sumber daya alam DAS Citanduy.
"Insya Allah tahun ini kami ajukan untuk mendapat persetujuan dari menteri sehingga dapat segera dibuat 'master plan'-nya untuk pengembangan 20 tahun ke depan," katanya.
Dengan demikian, lanjutnya, hingga saat ini belum ada rencana pengerukan Laguna Segara Anakan.
Akan tetapi jika diperlukan, kata dia, nantinya perencanaan tersebut akan dimasukkan ke dalam "master plan".
"Kalau dulu direncanakan adanya pengalihan sedimennya melalui sudetan, tetapi ini cerita lampau. Sekarang sedang dipikirkan bagaimana kesepakatan pihak-pihak terkait," katanya.
Dengan masih belum jelasnya penanganan pendangkalan Segara Anakan, ancaman bencana banjir tetap menghantui wilayah barat Kabupaten Cilacap pada tahun 2011.
Apalagi Stasiun Meteorologi Cilacap memprakirakan curah hujan pada akhir Desember 2010 hingga Maret 2011 berada di atas normal dan berpeluang terjadi hujan lebat dengan puncaknya pada bulan Januari-Februari 2011.
Tingginya curah hujan ini disebabkan masih kuatnya pengaruh fenomena La Nina di wilayah Indonesia.
Masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Cilacap saat ini hanya bisa berharap adanya realisasi penangangan sedimentasi di Segara Anakan sehingga banjir tahunan pun dapat dihindarkan. (http://www.antarajateng.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar