Jumat, 18 Peb 2011 07:00:21 WIB | Oleh : Sumarwoto/ M Hari Atmoko
"Caritaneng pahargyan samangkyo rantamanipun hadyane sirih lan kurebe, andadosno bengeting promanggolo yudo sabdo kang linuwih andadosno runtiking manah kalyan jejering kawulo gusti projo meniko satu anggiatno pralambang".
Kalimat tersebut penggalan naskah Jawa Kuno dalam keropak daun lontar peninggalan Raja Mataram Amangkurat I yang dibacakan saat "Jamasan Jimat Kalisalak" di Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (17/2).
Menurut Ketua Panitia Pelaksana Jamasan, Ilham Triyono, kalimat dalam bahasa Jawa Kuno dan ditulis menggunakan huruf Jawa ini jika diterjemahkan, mengandung pesan moral.
"Jika diterjemahkan secara bebas, dapat dimaknakan 'dalam runtutan acara seperti daun sirih, telentang dan tengkurap sama saja sehingga mengakibatkan bingung prajurit, ucapan yang berlebihan mengakibatkan semua itu menjadi sirik, status sebagai umat Tuhan, hanya menjadi simbol," katanya.
Selain tulisan dalam keropak daun lontar, dalam jamasan tersebut juga dibacakan sebuah tulisan dalam sebuah buku kuno, yakni "kawulo ngajeng linuwih dhedhelikan ngramun praja, lamun dendulu kadya ramat".
Jika diterjemahkan, kalimat tersebut mengandung makna "saya berharap bagi para pemimpin yang ada di depan, memiliki kelebihan merumuskan ketenangan negara secara diam-diam ibarat jaring laba-laba".
"Silakan masyarakat yang menafsirkan sendiri makna dari semua kejadian dalam jamasan ini. Tapi perlu kami ingatkan, ini bukan sebuah ramalan," kata Ilham.
Menurut dia, tulisan-tulisan dalam keropak daun lontar maupun buku kuno belum tentu dapat dibaca secara jelas setiap kali jamasan.
"Tulisan-tulisan tersebut kadang bisa terbaca, kadang tidak bisa. Tulisan yang terbaca juga berbeda-beda setiap kali jamasan," katanya.
Oleh karena itu, selain untuk membersihkan jimat atau benda-benda pusaka, masyarakat setempat memanfaatkan tradisi jamasan ini untuk membaca tanda-tanda zaman.
Dalam hal ini, kata dia, jumlah maupun bentuk benda-benda pusaka peninggalan Amangkurat I tersebut sering kali berubah dan kadang kala muncul benda baru.
Padahal, kata dia, benda-benda pusaka tersebut dikeluarkan dari tempatnya di Langgar Jimat hanya satu tahun sekali, yakni pada acara jamasan yang digelar setiap tanggal 12 Mulud Tahun Jawa berdasarkan hitungan Aboge.
"Hal ini oleh masyarakat diyakini sebagai suatu pertanda yang bakal terjadi di masa mendatang," katanya.
Menurut dia, salah satu keunikan yang muncul pada jamasan kali ini adalah adanya bangkai sejenis belalang yang merupakan hama tanaman di dalam "bekong" atau alat penakar beras.
"Belalang yang telah mengering ini masuknya entah lewat mana. Kami tidak bisa bicara banyak, silakan masyarakat tafsirkan sendiri," katanya.
Selain menemukan adanya bangkai belalang, kata dia, pada jamasan kali ini juga ditemukan sebuah "piti" (wadah kecil yang terbuat dari anyaman bambu) yang berisi akar "jenu", yakni tanaman yang bisa memabukkan dan biasa digunakan untuk menangkap ikan di sungai, serta sebuah kepompong yang berisi sebuah benda yang mirip boneka.
"Bahkan ada satu 'piti' yang biasanya kosong, pada jamasan ini diketahui berisi satu gulung benang 'lawe'," katanya.
Sementara benda berupa "unduk kebo" (miniatur kepala kerbau berukuran kecil), kata dia, pada jamasan kali ini terlihat sangat bersih, padahal saat jamasan sebelumnya terlihat sangat kusam.
"Benda berupa 'unduk kebo' ini pertama kali muncul pada jamasan tahun 2000," kata Kepala Desa Kalisalak, Bambang Setiadi.
Menurut dia, jumlah kepingan uang yang tersimpan di dalam langgar juga berkurang.
Pada jamasan tahun lalu, kata dia, jumlah uang sebanyak 60 keping tetapi sekarang hanya 58 keping.
"Bahkan jumlah uang yang ada dalam ikatan juga berubah karena pada jamasan sebelumnya ada 15 keping, sekarang menjadi 16 keping. Demikian pula dengan kepingan tembaga yang semula terdapat 33 keping, sekarang hanya 31 keping," katanya.
Terkait perubahan jumlah maupun bentuk serta munculnya benda-benda baru tersebut, dia mengatakan, masyarakat diharapkan tidak menganggapnya sebagai sebuah ramalan.
"Namun jika ada yang ingin menafsirkannya, silakan tafsirkan secara pribadi," katanya.
Prosesi Jamasan
Prosesi jamasan ini diawali dengan Kirab Kerabat yang diberangkatkan dari Balai Desa Kalisalak menuju Langgar Jimat yang berjarak sekitar dua kilometer.
Iring-iringan kirab ini terdiri barisan putri domas yang membawa "uba rampe" (berbagai sarana jamasan), pasukan genderang, pasukan "bregada" (pasukan perang), pembawa tandu tempat "mrapen" (pembakar dupa), barisan kerabat Langgar Jimat Kalisalak maupun kerabat Kerajaan Mataram, dan tim kesenian.
Sesampainya di Langgar Jimat, "uba rampe" tersebut diserahkan kepada juru kunci langgar, Kiai Sanmuraji.
Selain itu, Kiai Sanmuraji juga menerima penyerahan sebuah tombak peninggalan Sunan Amangkurat I dari seorang prajurit "bregada".
Akan tetapi, panitia jamasan tidak menyebutkan nama tombak yang diserahkan tersebut.
"Belum saatnya untuk disebutkan, mungkin tahun-tahun berikutnya. Kami masih menunggu 'sinyal' (wangsit, red.)," kata Ketua Panitia Pelaksana Jamasan Jimat Kalisalak, Ilham Triyono.
Setelah itu, seluruh benda yang tersimpan di dalam Langgar Jimat dikeluarkan untuk dijamas oleh para penjamas di atas altar yang berada di depan bangunan tersebut.
Satu per satu benda dikeluarkan dari tempatnya yang selanjutnya untuk dijamas dan dihitung jumlahnya.
Benda yang pertama kali dijamas berupa "bekong" atau alat penakar beras disusul benda-benda lainnya.
Sebelum dijamas, benda-benda pusaka tersebut diasapkan lebih dulu di atas "mrapen" atau "pedupan" berupa tempat pembakaran kemenyan.
Selanjutnya, benda-benda yang terbuat dari logam dicuci menggunakan air bunga dan jeruk nipis sedangkan benda dari kain dan bambu hanya diasapkan saja.
Penjamasan dilakukan di atas altar dan para penjamasnya harus berdiri dengan kaki bertumpu pada injakan yang berada di bawah altar.
Selama prosesi penjamasan tersebut berlangsung, dilakukan pendataan terhadap benda-benda pusaka ini untuk dicocokkan dengan hasil pendataan tahun sebelumnya.
Selain itu, panitia juga menjelaskan nama dan kegunaan setiap benda pusaka yang dijamas tersebut.
Setelah itu, benda-benda pusaka tersebut dikembalikan lagi ke dalam langgar yang telah dibersihkan dan dipasang kain mori baru. Langgar ini akan kembali dibuka pada prosesi jamasan tahun depan.
Seperti diketahui, masyarakat Desa Kalisalak mempercayai jika pusaka dan kitab yang selama ini disimpan di sebuah bangunan yang dikenal dengan "Langgar Jimat Kalisalak" merupakan benda-benda Amangkurat I yang bertuah.
Bahkan, masyarakat setempat juga meyakini pusaka dan kitab-kitab tersebut sebagai benda keramat dan memiliki daya magis.
Hal ini disebabkan setiap kali penjamasan, bentuk dan jumlah benda yang tersimpan sering kali berubah dan kadang muncul benda-benda baru, sehingga masyarakat meyakini penjamasan tersebut tidak sekadar mencuci benda keramat tetapi juga membaca tanda zaman.
Sementara sosok Amangkurat I adalah Raja Mataram yang bertahta pada 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Raden Ayu Wetan (Kanjeng Ratu Kulon), putri keturunan Ki Juru Martani yang merupakan saudara dari Ki Ageng Pemanahan.
Sosok yang memiliki nama kecil Mas Sayidin, yang ketika menjadi putera mahkota diganti dengan gelar Pangeran Arya Mataram atau Pangeran Ario Prabu Adi Mataram tersebut berusaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram.
Amangkurat dikabarkan sempat singgah di Kalisalak, dan meninggalkan pusaka-pusaka itu agar tak membebani perjalanannya menuju Batavia. Amangkurat menuju ke Batavia untuk meminta bantuan VOC lantaran dikejar pasukan Trunojoyo yang memberontak sekitar 1676-1677. (http://www.antarajateng.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar