Memberdayakan Masyarakat Melalui Kerajinan Bambu

Kamis, 19 Agst 2010 01:11:48 WIB | Oleh : Sumarwoto/M Hari Atmoko

Sejak puluhan tahun lalu, Desa Klumprit, Kecamatan Nusawungu, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, dikenal sebagai sentra industri kerajinan bambu.

Hal ini disebabkan sebagian besar warganya memiliki keahlian dalam bidang kerajinan yang terbuat dari bambu secara turun-temurun.

Akan tetapi kerajinan bambu yang dikembangkan saat itu masih sebatas pada pembuatan "caping" (topi petani), "wuwu" (perangkap ikan), dan peralatan rumah tangga.

Kondisi tersebut menggugah niat seorang warga Desa Klumprit RT 01 RW 03, Samid Sudrajat (42), untuk lebih mengembangkan kerajinan bambu ini di desanya.

Dia yang memiliki keahlian menganyam bambu dari orang tuanya berupaya menciptakan berbagai inovasi agar hasil karyanya dapat lebih banyak diminati konsumen.

"Pada tahun 1992, saya mencoba memulai usaha kerajinan bambu ini sendiri dengan menciptakan berbagai kreasi, karena saat itu produk kerajinan dari sini baru sebatas pada peralatan rumah tangga dan pertanian," katanya di Desa Klumprit, Rabu.

Sejak saat itu, Samid mencoba membuat kerajinan bambu berupa kap lampu, tempat parsel, cenderamata, dan berbagai kreasi lainnya.

Upaya tersebut akhirnya membuahkan hasil karena produk kerajinan bambu dari Desa Klumprit mulai dikenal di berbagai daerah di Indonesia, bahkan diekspor ke Eropa maupun Jepang.

Oleh karena saking banyaknya pesanan, Samid akhirnya mencoba memberdayakan masyarakat di desanya untuk ikut terlibat dalam pembuatan kerajinan bambu yang dikelolanya.

"Saya mengajak warga untuk ikut dalam pembuatan kerajinan bambu ini. Awalnya saya ajari mereka mengenai berbagai desain kerajinan bambu," katanya.

Menurut dia, masyarakat dapat dengan cepat memahami desain tersebut karena mereka telah memiliki keahlian sebagai perajin bambu.

"Desain tersebut saya yang buat, tetapi kadang pula dibuat oleh pemesan. Kalau ada desain baru, saya mengumpulkan beberapa orang untuk diberi penjelasan mengenai desain tersebut dan selanjutnya mereka yang mengenalkannya kepada warga lainnya termasuk menyebarkan gambaran desain tersebut," katanya.

Jika kerajinan bambu tersebut untuk diekspor, kata dia, bahan bakunya akan disediakannya sehingga warga tinggal mengerjakannya saja.

Akan tetapi jika kerajinannya untuk pasar lokal, warga mencari bahan baku sendiri karena banyak tersedia di desa ini.

"Ongkos pengerjaannya bervariasi karena tergantung dari tingkat kesulitan dan bahan bakunya. Tapi yang jelas, ongkosnya berkisar antara Rp2.000-Rp15.000 per buah," katanya.

Kendati demikian, dia mengakui, saat ini kerajinan bambu mengalami kelesuan pasar sehingga jumlah pesanan pun merosot.

Menurut dia, penurunan pesanan tersebut mulai dirasakan sejak pertengahan 2008. "Apalagi sejak pemberlakuan perdagangan bebas China-ASEAN awal tahun 2010," katanya.

Sebelumnya, kata dia, pesanan kerajinan bambu dari pihak ketiga khususnya untuk keperluan ekspor bisa mencapai lima jenis kerajinan, masing-masing 5.000 buah dengan total nilai ekspornya sekitar Rp200 juta.

Akan tetapi sejak pertengahan 2008, katanya, nilai ekspor kerajinan bambu mengalami penurunan karena hanya mencapai Rp50 juta.

"Bahkan selama tahun 2010 ini, saya baru sekali mengirim pesanan untuk ekspor dan hanya terdiri satu jenis kerajinan, yakni berupa 'bamboo jar' atau anyaman yang menyerupai gentong," katanya.

Menurut dia, kerajinan yang diekspor ke Eropa melalui pihak ketiga di Yogyakarta tersebut berjumlah 1.000 buah dengan nilai Rp30 juta.

"Saat ini pesanan kerajinan bambu memang sangat sepi, sehingga saya pun mencoba mengembangkan usaha pembuatan tangkai sapu. Kendati demikian, usaha kerajinan bambu tetap saya jalankan," katanya.

Sementara itu seorang warga Desa Klumprit RT 01 RW 03, Nuryatin (31), mengaku tertarik ikut kerja menganyam bambu secara borongan pada Samid.

"Warga desa ini sebagian besar merupakan perajin bambu, tetapi hanya sebatas membuat 'caping' dan 'wuwu'. Saya ikut kerja borongan pada Pak Samid hanya sekadar untuk mengisi kesibukan," katanya.

Menurut dia, bahan baku berupa bambu tali dibeli sendiri dengan harga Rp20 ribu per batang dan setelah dianyam untuk berbagai jenis kerajinan bisa menghasilkan uang Rp100 ribu.

Warga lainnya, Daryati (36), mengaku ikut kerja borongan sebagai perajin hanya untuk mengisi kesibukan sambil menunggu warung kelontongnya.

"Ya daripada bengong saat nunggu warung, lebih baik sambil ikut kerja seperti ini," katanya sembari menganyam bambu.

Menurut dia, ongkos pengerjaan kerajinan bambu tersebut tergantung dari tingkat kesulitannya. "Misalnya untuk kipas sebesar Rp1.500 per buah, tapi itu hanya anyamannya saja, tanpa ada tangkainya," katanya.

Ia mengatakan, permintaan kerajinan bambu dari Samid saat ini mengalami penurunan. Akan tetapi dia mengaku tidak tahu sebabnya.

"Kalau pas lagi ramai, kerjaannya banyak, tapi saat ini sedang sepi. Ini saja hanya diminta membuat 30 buah anyaman, tapi saya tak tahu untuk kerajinan apa," katanya.


Butuh Bantuan
Kendati pasar kerajinan bambu sedang mengalami kelesuan, Samid berusaha untuk terus mengembangkan usahanya.

Terkait dengan hal itu, dia mengharapkan pemerintah dapat lebih memerhatikan nasib industri kecil dengan memberikan pembinaan atau pelatihan manajemen.

Selain itu, kata dia, pemerintah diharapkan dapat memberi kemudahan dalam persyaratan pengajuan pinjaman maupun dana bergulir.

Menurut dia, selama ini persyaratan untuk untuk pengajuan dana bergulir yang dikucurkan pemerintah sering kali dirasa berbelit-belit.

"Memang sih dalam pembayarannya lebih mudah dan bunganya ringan, tetapi persyaratannya sering berbelit-belit. Kami juga butuh bantuan pemerintah untuk ikut terus memromosikan produk industri kecil," katanya.

Secara terpisah, Wakil Bupati Cilacap selaku Pelaksana Tugas Bupati Cilacap, Tatto Suwarto Pamuji mengatakan, pihaknya akan terus berupaya mengangkat potensi yang dimiliki kabupaten ini.

Oleh karena itu, kata dia, Pemerintah Kabupaten Cilacap berencana mendirikan "Usaha Kecil dan Menengah (UKM) Center" untuk memromosikan berbagai potensi lokal yang ada.

"Rencananya UKM Center akan didirikan di Majenang," katanya.

Selain itu, dia mengatakan, pemudik asal Cilacap yang pulang kampung pada Lebaran 2010 diharapkan turut serta memromosikan berbagai potensi yang dimiliki kabupaten ini di tempat mereka bekerja.

Dengan demikian, kata dia, potensi yang dimiliki Kabupaten Cilacap dapat semakin terangkat dan dikenal masyarakat. (http://www.antarajateng.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar