Selasa, 13 Jul 2010 12:07:12 WIB | Oleh : Sumarwoto/Mahmudah
ANTARA - Janganlah heran jika saat berwisata ke Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, anda berjumpa dengan anak-anak kecil yang berambut gimbal atau oleh penduduk setempat disebut rambut "gembel".
Jangan mencela anak berambut gimbal itu, karena celaan itu akan menyakiti perasaan orang tuanya.
Rambut gimbal atau gembel yang dimiliki anak-anak Dataran Tinggi Dieng itu bukan lantaran rambut mereka tak diurus, tapi tumbuh dengan sendirinya.
Bahkan pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono (60) meyakini anak-anak berambut gembel ini adalah anak bajang titipan Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan).
"Anak berambut gembel berjenis kelamin laki-laki merupakan titisan Eyang Agung Kala Dete, sedangkan yang perempuan titisan Nini Ronce Kala Prenye. Mereka adalah titipan anak bajang dari Ratu Samudera Kidul," katanya.
Gimbal pada rambut anak-anak Dieng berbeda dengan rambut gembelnya almarhum Mbah Surip. Rambut gimbal Mbah Surip dibentuk dengan sengaja, melalui proses pengepangan, sedangkan rambut gimbal anak-anak Dieng tumbuh dengan sendirinya.
Selain di Dataran Tinggi Dieng lereng Gunung Prahu, anak-anak berambut gembel juga dapat dijumpai di lereng Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan Gunung Rogojembangan.
Menurut dia, rambut gembel pada anak-anak ini tidak tumbuh dengan sendirinya karena bisanya diawali dengan sakit lebih dulu.
"Jadi setiap gembelnya akan tumbuh, anak-anak itu lebih dulu sakit. Namun setelah gembelnya tumbuh semua, mereka tidak akan sakit-sakitan lagi," katanya.
Setelah gembelnya tumbuh, kata dia, rambut anak-anak tersebut tidak pernah disisir karena hal itu justru akan membuatnya sakit.
Saat ditanya mengenai jenis-jenis rambut gembel, dia mengaku tidak mengetahuinya secara pasti.
Informasi yang dihimpun ANTARA dari sejumlah masyarakat setempat, rambut gembel ini terdiri empat jenis, yakni gembel pari (gembel padi yang memiliki ukuran paling kecil seperti padi), gembel jagung (seperti rambut jagung), gembel jatah (gembelnya hanya beberapa helai), dan gembel wedus atau kambing (gembel yang ukurannya paling besar).
Konon, gembel pari jarang ada yang memilikinya sedangkan jenis gembel lainnya banyak dijumpai di Dataran Tinggi Dieng.
Terkait upaya menghilangkan rambut gembel ini, Mbah Naryono mengatakan, hal itu dapat dilakukan dengan cara ruwatan, yakni ritual memotong rambut tersebut.
"Kalau dipotong sendiri tanpa melalui acara ruwatan, sang anak akan sakit dan rambut gembelnya akan kembali tumbuh, sehingga harus melalui acara ruwatan," katanya.
Menurut dia, anak-anak tersebut diyakini tidak akan berambut gembel lagi setelah menjalani ruwatan. "Saya dulunya juga berambut gembel tetapi sekarang tidak lagi," ujarnya.
Ia mengatakan, acara ruwatan rambut gembel dapat dilakukan kapan saja sesuai kemampuan orang tua karena biayanya tidak sedikit dan hal itu atas permintaan sang anak.
Jika anaknya belum berkehendak, kata dia, orang tua tidak bisa memaksanya meskipun orang tua memiliki dana untuk menggelar ruwatan tersebut.
"Dana untuk ruwatan memang tidak sedikit karena orang tua harus menuruti apapun permintaan sang anak yang akan diruwat," katanya.
Selain itu, kata dia, berbagai sesaji juga harus disiapkan, antara lain nasi tumpeng tujuh warna, jajan pasar, buah-buahan, dan ingkung ayam.
Oleh karena itu, dia mengaku menyambut baik acara ruwatan rambut gembel secara massal pada Minggu (11/7) dalam rangkaian kegiatan "Dieng Culture Festival (DCF) 2010" 10-11 Juli 2010, yang diselenggarakan oleh Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, sehingga dapat meringankan beban para orang tua anak berambut gembel yang akan diruwat.
Sementara itu, Ketua Panitia DCF 2010 Alif Faozi mengatakan, seluruh permintaan anak-anak berambut gembel itu ditanggung panitia.
Kendati demikian, dia mengatakan, ada seorang anak berambut gimbal yang batal mengikuti ruwatan ini karena panitia tak sanggup memenuhinya.
"Anak itu minta seekor sapi," katanya.
Dalam acara ruwatan massal pada Minggu (11/7) ini diikuti oleh delapan anak berambut gembel.
Berbagai barang maupun binatang yang diminta anak-anak berambut gimbal inipun dibawa serta dalam ruwatan tersebut, antara lain 100 butir telur ayam, lima ekor marmut, sepasang ayam, seekor kambing, dan 100 kepala ayam.
Seorang anak perempuan peserta ruwat massal asal Garung, Kabupaten Wonosobo, Tuwarni (5) mengatakan, meminta kepala ayam sebanyak 100 buah.
"Cucuk ayam 100 (kepala ayam sebanyak 100 buah, red.)," katanya saat ditanya wartawan.
Mengenai kemunculan rambut gimbal pada diri anaknya, ayah Tuwarni, Mujiyono (35) mengatakan, hal itu diketahui sejak anaknya berusia satu tahun.
"Saat itu Tuwarni berusia setahun dan sering sakit-sakitan hingga akhirnya muncul rambut gembel. Sekarang Tuwarni tidak lagi sakit-sakitan setelah gembelnya tumbuh," kata dia yang kesulitan berbahasa Indonesia.
Peserta ruwatan lainnya yang berasal dari Bitingan, Kabupaten Banjarnegara, Ahmad Rizal Luthfi (3,5) meminta sepasang ayam kampung.
Kemunculan rambut gembel pada diri Rizal juga memiliki kesamaan dengan yang dialami Tuwarni, yakni diawali dengan sakit-sakitan lebih dulu.
"Saat usia satu tahun, Rizal sering sakit-sakitan hingga akhirnya muncul rambut gembel di kepalanya," kata ibunda Rizal, Suparti (40).
Ia mengaku sempat beberapa kali menyisir rambut gembel Rizal. Akan tetapi setiap kali disisir, Rizal langsung jatuh sakit sehingga ibunya tak lagi menyisir rambut anaknya.
Kendati di Dataran Tinggi Dieng banyak dijumpai anak-anak berambut gembel, tidak semuanya mengikuti ruwatan karena mereka belum menginginkan rambutnya dipotong.
Konon, keinginan untuk mengikuti ruwatan ini merupakan permintaan dari roh halus yang mendamping sang anak berambut gembel tersebut.
Seorang anak berambut gembel asal Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Muhammad Alfarizi Masaid (8) mengaku belum bersedia diruwat.
Selain itu, ayah Rizi (panggilan akrab Muhammad Alfarizi Masaid, red.), Ahmad Said (32) mengaku belum sanggup menggelar ruwatan bagi anaknya karena permintaan Rizi sangat berat.
Menurut dia, Rizi minta ditanggapkan pergelaran Reog Ponorogo dan Barongsai.
"Kami belum sanggup untuk itu karena biayanya tentu sangat mahal," katanya.
Mengenai pengalaman yang pernah dijumpai, ibunda Rizi, Sri Rejeki (29) mengaku pernah berjumpa dengan seseorang yang mencela anaknya yang berambut gimbal pari.
"Pernah ada orang yang tanya, 'bu, anaknya tak pernah dimandikan ya?' Saat mendengar itu, perasaan saya sangat sedih," katanya.
Prosesi Ruwatan
Prosesi ruwatan ini diawali dengan kirab budaya yang diberangkatkan dari rumah pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono, untuk mengiringi para bocah berambut gembel menuju tempat peruwatan di Kompleks Candi Arjuna.
Kirab tersebut diikuti sejumlah kesenian khas Dataran Tinggi Dieng, antara lain Tari Rampyak Pringgondani, Grup Warok Tradisional Jenggot Lestari, dan Tari Topeng Sri Widodo.
Selain itu, dalam kirab tersebut juga terdapat pasukan pembawa sesaji, antara lain tumpeng tujuh warna, jajan pasar, buah-buahan, dan "ingkung", sejenis ayam rebus, termasuk sejumlah ternak dan barang-barang yang diminta anak-anak berambut gembel ini.
Sementara delapan anak berambut gimbal atau disebut "pengantin" yang akan diruwat, bersama orang tuanya dibawa menuju tempat ruwatan dengan menaiki dua delman.
Sesampainya di Pendopo Suharto Whitlam, peserta kirab kesenian ini berpencar ke tiga lokasi berbeda.
Dalam hal ini rombongan kesenian berbelok ke panggung hiburan, pembawa sesaji menuju Kompleks Candi Arjuna, sedangkan delapan anak berambut gimbal digendong orang tuanya menuju Sendang Maerakaca di Kompleks Sendang Sedayu.
Selanjutnya, kedelapan anak yang mengenakan ikat kepala dan berselendang kain mori ini, satu persatu dimandikan di Sendang Maerakaca oleh Mbah Naryono.
Prosesi pemandian atau "siram jamas" ini ditujukan untuk membersihkan jiwa dan raga para anak berambut gembel tersebut sebelum menjalani ruwatan.
Usai ritual pemandian, prosesi dilanjutkan dengan ruwatan pemotongan rambut gembel di Kompleks Candi Arjuna.
Kendati ruwatan ini dipimpin oleh Mbah Naryono, dalam pelaksanaan pemotongan rambut gembel tersebut dilakukan oleh sejumlah pejabat Kabupaten Banjarnegara maupun Provinsi Jawa Tengah secara bergantian.
Satu per satu anak berambut gembel dibawa menuju depan Candi Arjuna untuk menjalani ritual pemotongan rambut oleh pejabat yang ditunjuk, sedangkan Mbah Naryono tampak duduk bersila sembari membaca mantra di depan anak-anak berambut gembel yang menunggu giliran pemotongan rambut.
Usai prosesi ruwatan, potongan rambut gembel tersebut selanjutnya akan dilarung ke Kali Tulis dan Telaga Warna yang bermuara di laut selatan Jawa Tengah. (http://www.antarajateng.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar