Anak Itu Terdakwa Pembalakan Liar

Rabu, 05 Mei 2010 22:32:02 WIB | Oleh : Sumarwoto/M Hari Atmoko

Anak di bawah umur, Wito bin Rasum (17), untuk kedua kalinya datang ke Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu (5/5), sebagai terdakwa kasus pencurian dua batang pohon pinus di hutan milik Perhutani Banyumas Timur.

Dengan wajah lesu, dia pun turun dari sepeda motor milik tukang ojek yang mengantarkannya dari rumahnya di Dusun Karangmiri RT 07 RW 07, Desa Panusupan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.

Kedatangan Wito yang didampingi kakak tertuanya, Dartem dan pamannya, Ahmad Fathoni serta Kepala Desa Panusupan Sukur Aminudin di PN Purwokerto langsung disambut aksi unjuk rasa belasan aktivis lingkungan.

Kendati demikian, unjuk rasa tersebut bukanlah kecaman terhadap Wito yang didakwa mencuri dua batang pohon pinus, melainkan sebagai bentuk solidaritas bagi anak baru gede (ABG) tersebut.

"Ini merupakan bentuk solidaritas kami kepada Wito yang didakwa mencuri dua batang pohon pinus milik Perhutani, tetapi dikenai pasal pembalakan liar, dan dia juga masih di bawah umur. Wito bukan kriminalitas, tetapi dia dikriminalisasi," kata koordinator aksi, Bangkit Ari Sasongko.

Bahkan, Wito bersama keluarganya pun diajak ikut serta dalam aksi solidaritas tersebut.

Wito yang mengenakan kemeja warna coklat dan bercelana panjang warna hitam serta bersandal jepit warna hijau itu pun terlihat matanya berkaca-kaca.

ABG yang memiliki sifat pendiam ini seakan ingin mengatakan bahwa dirinya tidak tahu kalau perbuatannya mengambil dua batang pohon pinus di petak 17a hutan milik Perhutani Banyumas Timur itu melanggar hukum.

Dalam hal ini, Wito didakwa mencuri dua pohon pinus yang dipotong menjadi 11 bagian di petak 17a hutan Perhutani Banyumas Timur yang masuk wilayah Desa Panusupan pada 6 Maret 2010 dengan nilai kerugian korban sebesar Rp600 ribu.

Wito ditangkap pada 7 Maret 2010 bersama seorang kenalannya yang mengajak mencuri kayu tersebut, Supardi (28), saat hendak mengambil kayu yang ditebang sehari sebelumnya. Sedangkan tiga pelaku lainnya, yakni Carkim, Wasum, dan Wanto berhasil kabur saat penangkapan tersebut.

Terkait dengan kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ninik Rahma pada persidangan pertama, Rabu (28/5), mendakwa Wito sesuai Pasal 50 ayat 3 huruf e juncto Pasal 78 ayat 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juncto Pasal 55 (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.

Sementara dalam sidang lanjutan yang bersifat tertutup pada Rabu (5/5) dengan hakim tunggal, Harto Poncono, diisi dengan dua agenda, yakni pemeriksaan saksi yang meringankan terdakwa dan pemeriksaan terdakwa.

Dalam sidang tersebut, Wito tampak didampingi seorang petugas dari PN Purwokerto.

Menurut penasihat hukum Wito, Rahardian Prasetyo, kliennya terpaksa didampingi seorang penerjemah lantaran dia tidak lancar berbahasa Indonesia.

"Sejumlah pertanyaan yang diajukan hakim kepada saksi dan terdakwa, antara lain mengenai pendidikan dan pergaulan Wito serta perekonomian keluarga," katanya.

Dalam hal ini, kata dia, pihaknya mengajukan tiga saksi, yakni Ahmad Fathoni (paman Wito), Dartem (kakak tertua Wito), dan Kepala Desa Panusupan, Sukur Aminudin.

Ia mengatakan, persidangan terhadap kliennya diharapkan dapat berlangsung cepat untuk menghemat ongkos karena Wito berasal dari keluarga tak mampu.

"Kalau nantinya setelah ada pledoi atau pembelaan, JPU mengajukan replik, kami berharap bisa menyampaikan duplik secara lisan sehingga sidang dapat berlangsung cepat," katanya.

Saat ditemui seusai persidangan, Wito mengatakan, dirinya ingin dibebaskan dari dakwaan tersebut.

Anak yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar ini mengaku sama sekali tidak tahu kalau mengambil kayu pinus di hutan milik Perhutani merupakan sebuah pelanggaran hukum.

"Saya diajak Carkim mengambil kayu pinus di hutan untuk dijadikan kayu bakar pada Sabtu malam (6/4)," katanya dalam bahasa Jawa Banyumasan.

Akan tetapi keesokan harinya saat hendak mengambil kayu yang telah ditebang, dia bersama Supardi justru ditangkap oleh sejumlah polisi hutan dan langsung dibawa ke Kepolisian Sektor Cilongok.

"Berbagai macam pertanyaan ditujukan polisi kepada saya hingga akhirnya saya disidang di sini. Saya ingin dibebaskan dari ancaman hukuman," kata dia yang mengaku takut saat menghadapi hakim di meja hijau.

Sementara kakak Wito, Dartem mengatakan, adiknya yang hanya mengenyam pendidikan SD selama sembilan tahun ini tidak pernah berulah macam-macam.

Menurut dia, Wito yang pendiam ini jarang bergaul sehingga tak memiliki banyak teman.

"Dia lebih banyak bermain di sekitar rumah dan membantu orang tua," katanya.

Bahkan untuk hadir ke persidangan, dia mengaku tidak memiliki uang sehingga harus mencari pinjaman.

"Kami terpaksa pinjam utang sebesar Rp120 ribu untuk membayar ojek," katanya.

Pernyataan Dartem ini dibenarkan Kades Panusupan, Sukur Aminudin, bahwa Wito tidak pernah berbuat kriminal meskipun dia berasal dari keluarga tak mampu.

Menurut dia, ayah Wito, Rasum (55), hanya bekerja sebagai buruh cangkul dengan penghasilan Rp20 ribu per hari.

"Itu pun kalau ada yang memintanya mencangkul, kalau tak ada ya bekerja apa adanya. Sementara ibunya, Lasem (45) hanya sebagai ibu rumah tangga," katanya.

Terkait dengan kasus tersebut, dia mengaku sangat kecewa terhadap Perhutani yang seolah lepas tangan dan menyerahkannya kepada kepolisian tanpa adanya pembicaraan melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Panusupan.

Padahal, pada awal pembentukan LMDH, kata dia, Perhutani menyatakan segala permasalahan yang berkaitan dengan hutan termasuk pencurian kayu kecil-kecilan dapat diselesaikan melalui lembaga ini.

"Akan tetapi Wito langsung dibawa ke kepolisian tanpa melalui pembicaraan di LMDH. Tidak mengapa kalau itu pencurian besar-besaran," katanya.

Menurut dia, nilai kerugian akibat pencurian yang didakwakan kepada Wito sebesar Rp600 ribu tidak sebanding dengan besar keuntungan yang diperoleh Perhutani dari hasil pengelolaan hutan.

"Untuk apa dibentuk LMDH di desa kami jika akhirnya seperti ini," ujarnya.

Kasus yang dialami Wito ini menarik perhatian tersendiri bagi Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Banyumas, Eni Marheni, yang datang ke PN Purwokerto untuk memberi dukungan moral.

"Kami prihatin karena dia masih anak-anak tapi mengapa dikenai pasal pembalakan liar. Apalagi dia hanya diajak dan tidak tahu kalau menebang pohon di hutan ada sanksinya," kata Eni.

Terkait dengan hal itu, dia mengatakan, pengadilan diharapkan dapat bersikap adil dan menggunakan hati nurani dalam menyidangkan kasus ini.

Meskipun tidak ditahan, Wito tetap harus bersabar dalam menjalani persidangan yang masih terus berlanjut hingga pembacaan putusan oleh hakim kelak. (http://www.antarajateng.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar