Sabtu, 23 Okt 2010 12:01:13 WIB | Oleh : Sumarwoto
Anomali cuaca akibat fenomena La Nina sangatlah membingungkan petani sehingga mereka terjebak untuk menanam padi lebih dini karena hujan telah turun di musim kemarau.
Akibatnya saat mendekati musim panen, tanaman mereka pun banyak terserang hama.
Bahkan di sejumlah wilayah, banyak areal persawahan yang terancam banjir.
Seperti di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, pada periode September hingga awal Oktober 2010 terdapat 4.000 hektare sawah yang terendam banjir dan 1.919 hektare di antaranya mengalami puso.
Selain itu, sejumlah petani di Kabupaten Cilacap juga khawatir gagal panen akibat pengaruh cuaca ekstrem.
"Saat ini sebagian besar petani di sini sedang menunggu masa panen. Akan tetapi curah hujan cukup tinggi sehingga dikhawatirkan merusak tanaman padi," kata pengurus Kelompok Tani Desa Mulyadadi, Darimun, di Desa Mulyadadi, Kecamatan Majenang.
Menurut dia, hal terburuk yang kemungkinan dapat dialami petani adalah bencana banjir jika Sungai Cikawung kembali meluap sehingga merendam tanaman padi mereka.
Bahkan jika terjadi banjir, kata dia, petani yang berada di bagian selatan Kecamatan Majenang ini akan mengalami gagal panen atau puso.
"Kalau banjirnya dari Selokan Satu, dampaknya mungkin tidak terlalu buruk. Akan tetapi jika dari Sungai Cikawung, kemungkinan petani bisa mengalami puso karena saat ini tanaman padi mereka telah 'mratak' (bulir padinya mulai berisi, red.)," katanya.
Menurut dia, kekhawatiran petani cukup beralasan karena hujan deras yang terjadi pada Agustus silam telah mengakibatkan Sungai Cikawung dan Selokan Satu meluap sehingga merendam sekitar 485 hektare sawah di Desa Mulyadadi, Mulyasari, Pahonjean, dan sebagian Padangsari.
Selain itu, kata dia, hujan deras yang disertai angin kencang juga telah merobohkan tanaman padi di Desa Mulyadadi dan Pahonjean pada Selasa (5/10) meskipun tidak terlalu luas.
"Kami khawatir hujan deras akan mengakibatkan Sungai Cikawung meluap. Apalagi saat ini sedikitnya ada tiga titik tanggul yang rusak akibat banjir Agustus lalu, serta tanggul jebol di Selokan Satu yang merupakan Anak Sungai Cikawung," katanya.
Menurut dia, tanggul rusak maupun jebol tersebut hingga kini belum diperbaiki.
Terkait hal itu, dia mengatakan, pemerintah diharapkan dapat segera memperbaiki kerusakan tanggul tersebut.
"Masyarakat sebenarnya telah berupaya memperbaikinya secara swadaya tetapi hal itu tidak banyak berarti karena tanggul tersebut kembali jebol saat hujan deras," katanya.
Petani lainnya di Desa Kalikudi, Kecamatan Adipala, Yaman mengatakan, anomali cuaca yang mengakibatkan terjadinya cuaca ekstrem telah menyebabkan merebaknya serangan hama terhadap tanaman padi.
"Saat ini hama yang menyerang adalah sundep," katanya.
Menurut dia, merebaknya serangan hama tersebut sebenarnya bukan semata-mata akibat pengaruh cuaca ekstrem melainkan karena petani terburu-buru menanam padi.
Dalam hal ini, kata dia, masyarakat petani di Pulau Jawa mengenal istilah "pranata mangsa" atau penataan musim.
Menurut dia, dalam "pranata mangsa" tersebut terdapat "mangsa karo" dan "mangsa katelu" (musim kedua dan ketiga, red.) yang berlangsung sekitar bulan Juli-Agustus seharusnya merupakan puncak musim kemarau sehingga petani mengistirahatkan sawahnya.
Akan tetapi, lanjutnya, pada periode waktu tersebut justru telah turun hujan sehingga petani buru-buru menanam padi.
"Akibatnya pada 'mangsa kapat' dan 'mangsa kalima' (musim keempat dan kelima, red.) yang berlangsung sekitar September-Oktober, serangan hama banyak bermunculan. Padahal seharusnya saat tersebut petani baru persiapan tanam karena kondisi sawahnya bagus lantaran telah diistirahatkan," katanya.
Terkait pengaruh cuaca ekstrem tersebut, dia mengatakan, hal itu memang sangat dikhawatirkan akan mengganggu pertanian pada musim tanam mendatang sehingga petani pun ragu untuk menjual hasil panen saat ini.
"Kami khawatir curah hujan akan semakin tinggi sehingga tanaman menjadi rusak dan hasil panennya menurun. Oleh karena itu, kami mungkin tidak akan menjual hasil panen dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga," katanya.
Cuaca Ekstrem
Stasiun Meteorologi Cilacap memprakirakan fenomena La Nina kuat akan mulai berlangsung pada November 2010 hingga Januari 2011.
Kondisi cuaca saat terjadinya fenomena La Nina kuat diprediksikan lebih ekstrem dibanding saat La Nina moderat terjadi pada Agustus-September 2010 karena akan berlangsung di saat musim hujan.
Analis cuaca Stasiun Meteorologi Cilacap Teguh Wardoyo mengatakan, hal ini didasarkan data prediksi suhu muka laut perairan Indonesia yang akan terus hangat hingga bulan Desember 2010.
Menurut dia, fenomena La Nina diprediksi akan terus dominan hingga Maret 2011 dan selanjutnya menuju kondisi netral pada bulan April 2011.
"Hal tersebut menjadikan peringatan bagi kita semua, terutama bagi pihak?pihak yang berkompeten dalam bidang ini. Pada saat Kemarau saja curah hujan sudah berlebih," katanya.
Kendati demikian, dia mengatakan, tingginya curah hujan di beberapa daerah pada musim kemarau justru memberi keuntungan tersendiri bagi petani di daerah bukan langganan banjir maupun petani tadah hujan yang biasa mengalami masa paceklik di musim kemarau.
"Dalam hal ini mereka yang biasa satu atau dua kali tanam, bisa menjadi dua atau tiga kali dalam setahun, sehingga jumlah panen akan lebih banyak dari biasanya. Hal ini sudah barang tentu akan menambah penghasilan para petani dan akan meningkatkan produksi padi secara nasional," katanya.
Menurut dia, perbaikan tanggul sungai dan bendungan tersebut merupakan salah satu upaya mengatasi dampak cuaca ekstrim ini.
Balai Besar Wilayah Sungai Citanduy, Kota Banjar, Jawa Barat, menyatakan segera memperbaiki sejumlah tanggul dan bendungan rusak di Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.
"Ada sejumlah tanggul dan bendungan yang telah kami perbaiki serta beberapa yang menjadi skala prioritas perbaikan pada tahun 2011," kata Kepala BBWS Citanduy, Agus Raharjo.
Kendati demikian, dia mengatakan, penanggulangan bencana banjir bukan semata-mata tugas BBWS yang berada di bawah Kementerian Pekerjaan Umum tetapi juga tanggung jawab bersama.
"Jadi masalah penanggulangan bencana banjir juga merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dalam hal ini, keterlibatan masyarakat dalam menjaga kelestarian tanggul sangat kami harapkan," katanya.
Menurut dia, salah satu bendungan yang telah diperbaiki meskipun bersifat darurat, yakni di Sungai Cilemeuh yang berada di perbatasan Kecamatan Cimanggu dan Majenang, Kabupaten Cilacap.
Ia mengatakan, perbaikan darurat Bendungan Sungai Cilemeuh tersebut ditujukan agar aliran air saluran irigasi tidak terganggu.
"Atas permintaan Gubernur Jawa Tengah dan bendungan tersebut berada di wilayah kami, perbaikan secara permanen akan laksanakan pada tahun 2011. Desain bangunan bendung permanen sudah dibuat, mudah-mudahan Maret 2011 dapat segera dikerjakan," katanya.
Selain itu, kata dia, sejumlah tanggul dan bendungan rusak tersebar di sejumlah sungai di Kabupaten Cilacap, antara lain Sungai Cimeneng, Sungai Kawunganten Hilir, Sungai Cilemeuh, dan Sungai Cikawung, juga akan segera diperbaiki.
Ketahanan Pangan
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Gunawan mengatakan, anomali cuaca tak memengaruhi produksi padi di wilayahnya.
"Bahkan, produksi padi selama 2010 melonjak jika dibanding tahun sebelumnya," katanya.
Menurut dia, hal itu diketahui dari realisasi produksi padi hingga akhir September 2010 telah mencapai 734.974 ton.
Dalam hal ini, kata dia, jumlah tersebut telah melampaui realisasi produksi padi selama tahun 2009 yang mencapai 681.435 ton.
"Kami perkirakan realisasi produksi padi akan meningkat karena hingga akhir tahun 2010 masih terdapat sekitar 21 ribu lahan siap panen," katanya.
Ia mengatakan, luas sawah di Kabupaten Cilacap seluruhnya mencapai 63.904 hektare.
Dengan adanya anomali cuaca, kata dia, luas panen selama tahun 2010 mencapai 129 rib pada penurunan produktivitas padi yang ditanam pada setiap hektare sawah karena dalam kondisi normal bisa mencapai 6,2 ton per hektare, saat ini hanya 5,4 ton per hektare.
Kendati demikian, kata dia, anomali cuaca memberi kebaikan karena berdampak pada perluasan area tanam.
Jadi walaupun produktivitasnya mengalami penurunan, luas tanamnya justru bertambah. Sawah yang biasanya hanya sekali tanam, dapat ditanami dua kali dan yang biasanya dua kali menjadi tiga kali.
"Dari luas sawah 63.094 hektare, jika dua kali tanam berarti sudah ada 126.188 hektare. Itu belum termasuk sawah tadah hujan," katanya.
Ia mengaku optimistis realisasi produksi padi Kabupaten Cilacap tetap dapat menjaga ketahanan pangan di wilayah yang merupakan lumbung padi Jawa Tengah ini.
Hal yang sama juga disampaikan Kepala Kantor Ketahanan Pangan Kabupaten Cilacap, Wuryantoro yang menyatakan persediaan bahan pangan khususnya beras di kabupaten ini dalam kondisi aman meski sempat terkendala dampak cuaca ekstrem.
"Kita akui cuaca ekstrem yang terjadi saat ini sulit diprediksi dan harus mendapat perhatian ekstra. Meski demikian, persediaan beras untuk Kabupaten Cilacap masih dalam posisi aman dan diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat hingga tiga bulan ke depan," katanya.
Kendati demikian, dia mengakui adanya sedikit penurunan produktivitas beras akibat adanya cuaca ekstrem tersebut yang menyebabkan sejumlah lahan pertanian terendam banjir.
Terkait hal itu, dia mengtakan, Kantor Ketahanan Pangan bersama Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten Cilacap telah berkoordinasi dengan instansi terkait seperti Dinpertanak serta Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) sebagai langkah antisipasi menghadapi anomali iklim yang mengakibatkan adanya cuaca ekstrem.
"Kami tidak ingin Kabupaten Cilacap yang merupakan lumbung padi di Jawa Tengah dengan luas persawahan 63 ribu hektare ini mengalami keterpurukan dalam hal ketahanan pangan akibat adanya cuaca ekstrem," katanya. (http://www.antarajateng.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar