Minggu, 28 Mar 2010 11:13:38 WIB | Oleh : Sumarwoto
Wacana pemekaran Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, kini kembali menggema meskipun hal itu masih banyak menimbulkan pertentangan di kalangan elit maupun masyarakat.
Kendati mendukung pembentukan Kabupaten Cilacap Barat, sejumlah masyarakat di wilayah yang bakal menjadi bagian kabupaten ini tidak menginginkan wacana tersebut ditunggangi kepentingan sesaat para elit lokal.
Warga di wilayah barat Kabupaten Cilacap mengharapkan, pembentukan kabupaten baru tersebut benar-benar merupakan keinginan dari masyarakat, bukan kepentingan suatu kelompok yang mengatasnamakan warga Cilacap Barat.
Kelak jika terbentuk, Kabupaten Cilacap Barat sedikitnya memiliki 129 desa meliputi 10 kecamatan, yakni Sidareja, Majenang, Karang Pucung, Gandrungmangu, Kedungreja, Cimanggu, Patimuan, Dayeuhluhur, Wanareja, dan Cipari.
Penduduk asli di 10 kecamatan ini memiliki kesamaan budaya, yakni Sunda. Bahkan hingga saat ini, budaya Sunda masih melekat dalam kehidupan mereka.
Kendati demikian, kesamaan budaya bukan alasan utama mereka untuk mendukung wacana pemekaran. Masalah pemerataan pembangunan merupakan alasan paling mendasar bagi mereka untuk mendukung pembentukan Kabupaten Cilacap Barat.
Mereka menilai, Pemerintah Kabupaten Cilacap yang memiliki luas wilayah 2.142,59 kilometer persegi ini tidak adil dalam pembangunan karena lebih banyak dilakukan di wilayah timur daripada barat.
Bahkan bagi warga yang bermukim di wilayah paling barat, khususnya Kecamatan Dayeuhluhur yang berbatasan dengan Jawa Barat, sering kali merasa "dianaktirikan" oleh Pemerintah Kabupaten Cilacap.
Jauhnya jarak Dayeuhluhur dengan ibu kota kabupaten dan minimnya sarana-prasarana membuat mereka "iri" dengan warga di Kota Banjar, Jawa Barat, yang berbatasan langsung dengan wilayah ini.
"Bayangkan saja, untuk mengantar surat dinas ke Cilacap, saya harus berangkat dari rumah pukul 05.00 WIB karena sedikitnya membutuhkan waktu 2,5 jam perjalanan menggunakan sepeda motor," kata Soleh Muttaqin (40), seorang warga Dayeuhluhur yang bekerja sebagai staf di salah satu unit pelaksana teknis di kecamatan ini, Jumat (26/3).
Terkait hal itu, dia mengaku sangat mendukung wacana pemekaran sehingga jarak tempuh dari Dayeuhluhur ke pusat pemerintahan dapat lebih dekat.
Selain itu, kata dia, pembangunan diharapkan dapat lebih merata jika kelak Kabupaten Cilacap Barat terbentuk.
"Andaikan nantinya Kabupaten Cilacap Barat terwujud, saya berharap ibu kotanya di Majenang sehingga lebih dekat dari Dayeuhluhur," katanya.
Sementara itu, seorang warga Desa Hanum, Kecamatan Dayeuhluhur, Hanum Sujana (32) mengatakan, pemekaran akan memberikan harapan baru bagi sebuah kemajuan dan pemerataan pembangunan di Cilacap bagian barat.
"Akan tetapi hal ini harus sesuai aspirasi masyarakat bawah, bukan hanya sebagian kelompok tertentu, serta telah melalui pengkajian dan penelitian yang jelas, dan memang layak untuk sebuah daerah otonom," katanya.
Dia mengaku ingin menunjukkan dukungan terhadap wacana pemekaran ini dengan bergabung bersama organisasi yang memiliki visi dan misi yang jelas serta transparan demi sebuah persatuan dan kebersamaan dalam tindakan.
"Namun jika ternyata pemekaran tidak terwujud, saya ingin tetap ikut serta berpartisipasi dalam setiap kegiatan yang sifatnya memberdayakan dan meningkatkan martabat masyarakat. Bagi saya mekar atau tidak mekar yang penting berkarya," katanya.
Seorang warga Desa Panulisan, Kecamatan Dayeuhluhur, Cecep Adi Kustaman (26) menyatakan, sangat setuju dan mendukung wacana pemekaran karena selama ini Pemerintah Kabupaten Cilacap kurangnya memperhatikan dan serius terhadap masalah pembangunan di wilayah barat.
Kendati mendukung adanya Kabupaten Cilacap Barat karena tidak adanya jaminan kepastian pemerataan pembangunan, dia mengakui, pemekaran wilayah belum tentu menjadikan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik.
"Bahkan, bisa lebih buruk. Akan tetapi, segala sesuatu yang diniati dengan kesungguhan maka sesuatu yang tidak mungkin bisa saja menjadi mungkin," katanya.
Menurut dia, saat ini sudah bermunculan organisasi maupun paguyuban yang berupaya mewujudkan pemekaran wilayah atau membentuk Kabupaten Cilacap Barat.
Ia mengatakan, banyak hal yang harus dipertimbangkannya untuk bergabung bersama organisasi tersebut.
"Pertimbangan saya, antara lain apakah visi misinya sesuai dengan kehendak rakyat golongan bawah dan apakah organisasi tersebut murni suara hati rakyat atau ada keinginan tertentu yang mengatas namakan rakyat," katanya.
Ia mengakui, adanya kemungkinan untuk membentuk organisasi sendiri, tetapi hal ini bisa menimbulkan suatu perpecahan yang pada akhirnya tujuan utama berupa pemekaran akan tambah tersendat.
"Tapi yang pasti, ikut ataupun tidak ikut ke dalam organisasi yang sudah ada, saya tetap mendukung pembentukan Kabupaten Cilacap Barat," katanya.
Meskipun kecewa terhadap pernyataan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo yang menolak wacana pemekaran dengan alasan tidak adanya potensi andalan, dia merasa yakin ada sesuatu di balik pernyataan tersebut. "Mungkin beliau berpikir kenapa yang maju cuma orang-orang tertentu, apakah ini murni suara rakyat atau tidak," katanya.
Menurut dia, Cilacap Barat sebenarnya memiliki sejumlah potensi yang dapat diandalkan sebagai penyumbang pendapatan asli daerah (PAD), antara lain sektor pariwisata, pertanian, dan industri rumah tangga.
Akan tetapi, kata dia, potensi-potensi tersebut hingga saat ini belum tergarap secara maksimal.
Disinggung mengenai upaya yang akan dilakukan jika wacana pemekaran tidak terealisasi, dia mengatakan, perjuangan untuk mewujudkan kesejahteraan warga Cilacap Barat dapat tetap dilakukan dengan berbagai cara.
"Kita bisa melakukan hal lain yang bersifat positif untuk membangun daerah sendiri, misalnya dengan ikut mempromosikan wisata yang bisa digali di daerah sendiri atau menciptakan ide-ide kreatif untuk mewujudkan kemajuan daerah sendiri," katanya.
Terkait hal itu, dia mengajak seluruh warga Cilacap, khususnya di wilayah barat, untuk membangun daerahnya tanpa membedakan suku, ras, agama, dan golongan walaupun nantinya tidak ada Kabupaten Cilacap Barat.
"Siapa lagi yang akan peduli dengan daerah kita, selain kita sendiri sebagai warganya. Walaupun ada yang pro dan kontra terhadap Kabupaten Cilacap Barat, mari jaga hati kita supaya tidak ada perpecahan yang akhirnya menjurus pada konflik," katanya.
Menanggapi penolakan Gubernur Jawa Tengah terhadap pemekaran di Kabupaten Cilacap, seorang warga Panulisan Timur, Kecamatan Dayeuhluhur, Endom Kustomo (50) mengatakan, ada dua kemungkinan yang menjadi alasan gubernur menolak wacana pemekaran.
"Yang maju menghadap beliau kan Paguyuban Warga Cilacap Barat (PWCB) yang pengurusnya didominasi oleh orang-orang Kecamatan Karangpucung saja, sehingga kemungkinan gubernur khawatir wacana tersebut hanya kepentingan segelintir orang saja," katanya.
Selain itu, kata dia, kemungkinan gubernur tidak tahu peta peluang ekonomi di Cilacap Barat. "Ngertinya yang sudah ada di permukaan saja," ujarnya.
Sementara itu warga Desa Hanum, Kecamatan Dayeuhluhur, Nana Sutisna mengatakan, setuju adanya pemekaran Cilacap Barat asalkan memenuhi landasan yuridis formal.
"Namun karena sampai saat ini landasan tersebut belum dipenuhi, menurut hemat saya, untuk sementara lebih baik ditangguhkan dulu," katanya.
Menurut dia, pembentukan daerah baru bisa dilakukan, bila suatu daerah mempunyai tujuh persyaratan, yakni kemampuan ekonomi, potensi daerah, kondisi sosial budaya, kondisi sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Ia mengatakan, pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan menjadi bumerang bagi warganya sendiri jika artikulasi gagasan tersebut lebih didasarkan kepada aspek-aspek pragmatisme politik dan ekonomi semata tanpa kajian dan pemahaman substantif terhadap hakikat pembentukannya maupun gagasan tersebut hanya populer di tingkat elit lokal.
"Secara teori, konsentrasi kekuasaan akan berada di tangan elit lokal. Bila hal itu yang terjadi, maka akan sangat sulit terwujudnya 'local accountability' (akuntabilitas lokal), dan itu berarti terlalu dini untuk berharap bahwa pembentukan Kabupaten Cilacap Barat akan mampu mendongkrak tingkat kesejahteraan masyarakat," katanya.
Oleh karena itu, kata dia, dalam proses membangun gagasan membentuk Kabupaten Cilacap Barat, seluruh orang yang berkehendak dan terkait dengan gagasan pembentukan kabupaten baru ini, sebaiknya melakukan gerakan penyerapan aspirasi masyarakat.
"Secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat harus diajak bicara," katanya.
Menurut dia, gerakan tersebut kemungkinan dapat dilakukan melalui debat publik secara terbuka baik di forum-forum resmi maupun tidak resmi guna membicarakan hal-hal strategis menyangkut gagasan pembentukan Kabupaten Cilacap Barat.
Seperti diketahui, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo mempersilakan daerah Cilacap bagian barat meneruskan rencana pemekaran wilayah setelah tahun 2013.
"Tunggu setelah 2013, kalau saya sudah selesai menjabat. kalau gubernur yang baru setuju, ya silakan," kata gubernur usai membuka rapat koordinasi Dinas Kesehatan Jawa Tengah, di Semarang, Jumat (12/3).
Saat ini, ia menegaskan penolakannya terhadap rencana pemekaran wilayah Cilacap bagian barat.
"Selama saya diberi kewenangan dan punya kewenangan untuk setuju atau tidak setuju, saya tetap tidak setuju," tegasnya.
Menurut dia, tidak mudah memekarkan wilayah untuk membawa kemaslahatan dan kesejahteraan masyarakat.
Ia menuturkan, cukup berat tugas suatu daerah dalam memelihara organisasi.
Ia menjelaskan, butuh dana dan biaya cukup tinggi untuk membangun gedung, fasilitas, membayar gaji, dan sebagainya.
Bahkan, lanjut dia, jika pemerintah pusat memberikan dana alokasi umum dan khusus bagi daerah, justru akan habis untuk keperluan-keperluan itu.
"Untuk rakyat mana, hanya pejabatnya saja yang akan dapat," katanya.
Kecuali, lanjut dia, daerah yang akan mekar ini memiliki potensi unggulan untuk membiayai.
Ia mempertanyakan potensi unggulan kawasan Cilacap bagian barat dan berapa lama potensi ini dapat bertahan.
Oleh karena itu, ia meminta rencana pemekaran ini dikaji ulang.
Selain itu, ia juga menagaskan siap untuk memajukan kawasan Cilacap bagian barat, melalui visi dan misi yang telah dijalankan.
"Bupati silakan menjabarkan visi dan misi gubernur," katanya.
Paguyuban Warga Cilacap Barat mengharapkan dukungan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Tengah dalam usulan pemekaran Kabupaten Cilacap.
Ketua Paguyuban Warga Cilacap Barat Mukhtar Zain meminta, legislatif provinsi ini menjadi fasilitator yang menghubungkan Pemerintah Kabupaten Cilacap dengan pemerintah provinsi ini.
Menurut dia, banyak alasan yang mendasari keinginan penduduk Kabupaten Cilacap di wilayah barat ini untuk membentuk wilayah sendiri.
Sejumlah alasan yang disampaikan, kata dia, misalnya kesenjangan kesejahteraan dan perekonomian antara wilayah timur dan barat. (http://www.antarajateng.com)
Tulisan-tulisan yang ada di blog ini merupakan sejumlah artikel yang aku buat untuk lembagaku tercinta, Perum Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA dan telah ditayangkan melalui portal www.antarajateng.com
Ketika "Facebookers" Mendiskusikan Kampung Halamannya
Selasa, 16 Mar 2010 21:28:27 WIB | Oleh : Sumarwoto
Banyak hal yang dapat dilakukan para "facebooker" untuk mempergunakan situs jejaring sosial "facebook", antara lain berkeluh kesah mencurahkan isi hatinya, mengeritik, dan saling berdiskusi. Kendati ada pihak-pihak yang memanfaatkan jejaring sosial ini untuk melakukan kegiatan yang mengarah ke sisi negatif, tak sedikit pula "facebooker" justru menggunakannya untuk berbagai kegiatan yang positif.
Hal inilah yang mengilhami para penggila "facebook" yang tergabung dalam grup "Dayeuhluhur on Facebook (DOF)" untuk mengadakan kegiatan yang ditujukan sebagai ajang "urun rembug" (menyumbangkan pemikiran, red.) untuk kemajuan kampung halaman mereka di Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Usul kegiatan yang semula terlontar dalam forum diskusi grup DOF ini pun akhirnya terealisasi dengan diselenggarakannya "Ngarumat Lembur" (merawat kampung halaman, red.) yang digelar di Curug Cimandaway, Desa Datar, Kecamatan Dayeuhluhur, Selasa (16/3).
Kendati terealisasi, berbagai keunikan pun banyak ditemukan dalam kegiatan ini lantaran sebagian besar para panitia yang terlibat, belum pernah bertemu secara langsung sebelum kegiatan ini terlaksana.
Selama ini mereka hanya berkenalan, berdiskusi, dan membicarakan segala sesuatu terkait dengan persiapan acara tersebut secara "online" melalui "facebook", meskipun mereka berasal dari satu kampung halaman, yakni Dayeuhluhur.
Dengan demikian saat acara tersebut digelar, kecanggungan pun tampak di antara panitia. Akan tetapi hal itu tidak menjadi penghalang demi kelancaran kegiatan untuk kemajuan kampung halaman mereka.
"Jujur saja, selama ini kami belum pernah bertemu secara langsung. Kami hanya ngobrol melalui 'facebook' sehingga harap maklum jika terlihat canggung," ujar Ketua Panitia "Ngarumat Lembur" Hanum Sujana.
Menurut dia, kegiatan "Ngarumat Lembur" ini merupakan usulan dari para "facebookers" yang tergabung dalam grup DOF dan terkuak melalui forum diskusi.
Dalam forum diskusi tersebut, kata dia, para anggota DOF yang saat ini telah mencapai 548 orang mengusulkan sebuah kegiatan untuk membicarakan sesuatu demi memajukan kampung halaman mereka.
Ia mengatakan, diskusi itu pun akhirnya memunculkan ide dilaksanakannya kegiatan "Ngarumat Lembur" ini, dan Curug Cimandaway dipilih sebagai lokasi kegiatannya.
"Namun tidak semua anggota DOF dapat hadir dalam kegiatan ini karena mereka tersebar di berbagai kota di Indonesia, seperti di Banda Aceh, Jakarta, maupun di Papua. Kendati demikian, mereka tetap mendukung kegiatan yang ditujukan untuk memajukan Dayeuhluhur," kata dia, yang saat ini bermukim di Bandung, Jawa Barat.
Pemilihan lokasi di Curug Cimandaway ini, kata dia, disebabkan Curug Cimandaway merupakan air terjun tertinggi di Kabupaten Cilacap yang ketinggiannya mencapai 100 meter, dan layak dijadikan sebagai objek wisata andalan karena suasananya masih alami.
Akan tetapi, katanya, hingga saat ini objek wisata tersebut belum tergarap secara maksimal, bahkan terlihat telantar.
"Terkait dengan hal itu, kami ingin para facebookers yang tergabung dalam DOF turut mempromosikan Curug Cimandaway serta berbagai potensi wisata lainnya yang dimiliki Dayeuhluhur, seperti Goa Basma (goa peninggalan penjajahan Jepang, red.), Situs Pamuryan, Situs Sarongge, dan Situs Gunung Goci," katanya.
Selain itu, kata dia, dalam acara "Ngarumat Lembur" ini juga dibicarakan mengenai khazanah bahasa Sunda khas Dayeuhluhur yang berbeda dengan bahasa Sunda umumnya.
Menurut dia, bahasa Sunda khas Dayeuhluhur diyakini masih asli Sunda dan belum tersentuh budaya keraton, meskipun wilayah ini dulunya termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Galuh.
Kendati demikian, dia mengatakan, bahasa Sunda khas Dayeuhluhur memiliki kemiripan dengan bahasa Sunda yang digunakan masyarakat Serang, Banten.
"Untuk itu, kami berencana menyusun kamus bahasa Sunda khas Dayeuhluhur agar budaya leluhur ini tidak hilang ditelan zaman. Dengan demikian, kami ingin mengambil sisi positif keberadaan jejaring sosial facebook ini untuk saling berdiskusi demi memajukan kampung halaman kami," katanya.
Dia mengharapkan, kegiatan "Ngarumat Lembur" ini dapat dioptimalkan tidak sebatas pada masalah pariwisata maupun kebudayaan, tetapi pada sektor perekonomian sebagai upaya pemberdayaan masyarakat Dayeuhluhur.
"Kami ada keinginan jika suatu saat anggota DOF dapat membudidayakan belut dengan memberdayakan masyarakat sini," katanya, memberi contoh.
Kendati digelar di daerah yang erat kaitannya dengan cikal bakal Kabupaten Cilacap, dia menampik jika kegiatan tersebut terkait Peringatan Hari Jadi ke-154 Kabupaten Cilacap pada 21 Maret mendatang.
Menurut dia, kegiatan ini murni ide anggota DOF untuk memajukan Dayeuhluhur.
Seorang anggota DOF yang saat ini bermukim di Purwokerto, Endom Kustomo, menyatakan, dirinya sangat mendukung kegiatan yang ditujukan untuk memajukan Dayeuhluhur.
Sebagai warga Dayeuhluhur, dia mengaku prihatin karena banyak potensi khususnya sektor pariwisata di desanya yang hingga saat ini belum tergarap secara maksimal.
"Padahal, Dayeuhluhur memiliki berbagai potensi atau kekayaan alam, tetapi hingga saat ini belum tergarap secara maksimal. Untuk itu, saya sangat mendukung kegiatan 'Ngarumat Lembur' ini karena siapa tahu ada pemikiran atau ide kreatif untuk memajukan Dayeuhluhur," kata Endom yang juga terlibat dalam kepanitiaan acara tersebut.
Terkait dengan masalah pembahasan bahasa Sunda khas Dayeuhluhur, dia mengatakan, hal itu memiliki keunikan tersendiri karena banyak istilah yang digunakan masyarakat Dayeuhluhur tidak ditemukan dalam bahasa Sunda yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa Barat.
Bahkan, kata dia, antarkampung di Dayeuhluhur pun sering kali ditemukan istilah dalam bahasa Sunda yang berbeda meskipun artinya sama.
"Konon bahasa Sunda yang digunakan masyarakat Dayeuhluhur merupakan bahasa Sunda kuno yang berkembang dalam masyarakat di luar keraton meskipun wilayah ini masuk kekuasaan Kerajaan Galuh," katanya.
Selain bahasa Sunda khas Dayeuhluhur, kata dia, bahasa Sunda yang digunakan masyarakat Genteng, Kecamatan Cimanggu, Cilacap, juga memiliki kekhasan sendiri yang berbeda dengan bahasa Sunda yang digunakan sebagian masyarakat Kabupaten Cilacap bagian barat.
Curug Cimandaway
Curug Cimandaway ini berlokasi di Desa Datar, Kecamatan Dayeuhluhur, yang merupakan kecamatan di Kabupaten Cilacap paling barat yang berbatasan dengan Kota Banjar dan Kabupaten Kuningan di Jawa Barat serta Kabupaten Brebes (Jawa Tengah).
Untuk menjangkau curug ini cukup mudah karena berada sekitar 30 kilometer ke arah utara dari jalan nasional di jalur selatan Jateng dengan pintu masuk melalui pertigaan Mergo, Desa Panulisan, Kecamatan Dayeuhluhur, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Cilacap.
Kondisi jalan sejauh 20 kilometer dari pertigaan Mergo hingga Desa Datar dalam keadaan halus dan berliku dengan pemandangan kebun karet serta sawah dan suasana pedesaan.
Akan tetapi kondisi jalan dari Desa Datar menuju Curug Cimandaway dalam keadaan rusak sehingga kurang nyaman untuk berkendaraan.
Curug Cimandaway yang berada di perkebunan karet milik Perhutani Banyumas Barat ini, memiliki lima tingkatan dengan total ketinggian sekitar 100 meter tetapi yang terlihat jelas hanya 75 meter.
Keunikan curug atau air terjun ini adalah sumber airnya berasal dari Sungai Singaraja dan airnya jatuh ke Sungai Cikawalon yang berada di bawahnya.
Sementara itu, Kepala Desa Datar, Sumar, mengatakan, sebenarnya banyak wisatawan yang tertarik untuk mengunjungi Curug Cimandaway ini.
Menurut dia, hal itu terlihat dari jumlah pengunjung di hari libur berkisar antara 50-100 orang. Mereka berasal dari wilayah Kabupaten Cilacap maupun Jawa Barat, seperti Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Kuningan.
Akan tetapi, kata dia, kondisi jalan menuju curug tersebut masih dalam keadaan rusak sehingga wisatawan kesulitan untuk menjangkaunya.
"Kami telah mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Cilacap agar jalan menuju Curug Cimandaway ini segera diperbaiki. Insya Allah bulan Mei mendatang, jalan tersebut akan diaspal dengan anggaran yang dialokasikan dari APBD Perubahan," katanya.
Menurut dia, pengelolaan Curug Cimandaway rencananya akan melibatkan karang taruna.
Selain itu, dia mengharapkan, para "facebookers" yang tergabung dalam DOF turut mempromosikan keberadaan Curug Cimandaway maupun "urun rembug" untuk kemajuan kampung halaman mereka di Dayeuhluhur. (http://www.antarajateng.com)
Banyak hal yang dapat dilakukan para "facebooker" untuk mempergunakan situs jejaring sosial "facebook", antara lain berkeluh kesah mencurahkan isi hatinya, mengeritik, dan saling berdiskusi. Kendati ada pihak-pihak yang memanfaatkan jejaring sosial ini untuk melakukan kegiatan yang mengarah ke sisi negatif, tak sedikit pula "facebooker" justru menggunakannya untuk berbagai kegiatan yang positif.
Hal inilah yang mengilhami para penggila "facebook" yang tergabung dalam grup "Dayeuhluhur on Facebook (DOF)" untuk mengadakan kegiatan yang ditujukan sebagai ajang "urun rembug" (menyumbangkan pemikiran, red.) untuk kemajuan kampung halaman mereka di Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Usul kegiatan yang semula terlontar dalam forum diskusi grup DOF ini pun akhirnya terealisasi dengan diselenggarakannya "Ngarumat Lembur" (merawat kampung halaman, red.) yang digelar di Curug Cimandaway, Desa Datar, Kecamatan Dayeuhluhur, Selasa (16/3).
Kendati terealisasi, berbagai keunikan pun banyak ditemukan dalam kegiatan ini lantaran sebagian besar para panitia yang terlibat, belum pernah bertemu secara langsung sebelum kegiatan ini terlaksana.
Selama ini mereka hanya berkenalan, berdiskusi, dan membicarakan segala sesuatu terkait dengan persiapan acara tersebut secara "online" melalui "facebook", meskipun mereka berasal dari satu kampung halaman, yakni Dayeuhluhur.
Dengan demikian saat acara tersebut digelar, kecanggungan pun tampak di antara panitia. Akan tetapi hal itu tidak menjadi penghalang demi kelancaran kegiatan untuk kemajuan kampung halaman mereka.
"Jujur saja, selama ini kami belum pernah bertemu secara langsung. Kami hanya ngobrol melalui 'facebook' sehingga harap maklum jika terlihat canggung," ujar Ketua Panitia "Ngarumat Lembur" Hanum Sujana.
Menurut dia, kegiatan "Ngarumat Lembur" ini merupakan usulan dari para "facebookers" yang tergabung dalam grup DOF dan terkuak melalui forum diskusi.
Dalam forum diskusi tersebut, kata dia, para anggota DOF yang saat ini telah mencapai 548 orang mengusulkan sebuah kegiatan untuk membicarakan sesuatu demi memajukan kampung halaman mereka.
Ia mengatakan, diskusi itu pun akhirnya memunculkan ide dilaksanakannya kegiatan "Ngarumat Lembur" ini, dan Curug Cimandaway dipilih sebagai lokasi kegiatannya.
"Namun tidak semua anggota DOF dapat hadir dalam kegiatan ini karena mereka tersebar di berbagai kota di Indonesia, seperti di Banda Aceh, Jakarta, maupun di Papua. Kendati demikian, mereka tetap mendukung kegiatan yang ditujukan untuk memajukan Dayeuhluhur," kata dia, yang saat ini bermukim di Bandung, Jawa Barat.
Pemilihan lokasi di Curug Cimandaway ini, kata dia, disebabkan Curug Cimandaway merupakan air terjun tertinggi di Kabupaten Cilacap yang ketinggiannya mencapai 100 meter, dan layak dijadikan sebagai objek wisata andalan karena suasananya masih alami.
Akan tetapi, katanya, hingga saat ini objek wisata tersebut belum tergarap secara maksimal, bahkan terlihat telantar.
"Terkait dengan hal itu, kami ingin para facebookers yang tergabung dalam DOF turut mempromosikan Curug Cimandaway serta berbagai potensi wisata lainnya yang dimiliki Dayeuhluhur, seperti Goa Basma (goa peninggalan penjajahan Jepang, red.), Situs Pamuryan, Situs Sarongge, dan Situs Gunung Goci," katanya.
Selain itu, kata dia, dalam acara "Ngarumat Lembur" ini juga dibicarakan mengenai khazanah bahasa Sunda khas Dayeuhluhur yang berbeda dengan bahasa Sunda umumnya.
Menurut dia, bahasa Sunda khas Dayeuhluhur diyakini masih asli Sunda dan belum tersentuh budaya keraton, meskipun wilayah ini dulunya termasuk daerah kekuasaan Kerajaan Galuh.
Kendati demikian, dia mengatakan, bahasa Sunda khas Dayeuhluhur memiliki kemiripan dengan bahasa Sunda yang digunakan masyarakat Serang, Banten.
"Untuk itu, kami berencana menyusun kamus bahasa Sunda khas Dayeuhluhur agar budaya leluhur ini tidak hilang ditelan zaman. Dengan demikian, kami ingin mengambil sisi positif keberadaan jejaring sosial facebook ini untuk saling berdiskusi demi memajukan kampung halaman kami," katanya.
Dia mengharapkan, kegiatan "Ngarumat Lembur" ini dapat dioptimalkan tidak sebatas pada masalah pariwisata maupun kebudayaan, tetapi pada sektor perekonomian sebagai upaya pemberdayaan masyarakat Dayeuhluhur.
"Kami ada keinginan jika suatu saat anggota DOF dapat membudidayakan belut dengan memberdayakan masyarakat sini," katanya, memberi contoh.
Kendati digelar di daerah yang erat kaitannya dengan cikal bakal Kabupaten Cilacap, dia menampik jika kegiatan tersebut terkait Peringatan Hari Jadi ke-154 Kabupaten Cilacap pada 21 Maret mendatang.
Menurut dia, kegiatan ini murni ide anggota DOF untuk memajukan Dayeuhluhur.
Seorang anggota DOF yang saat ini bermukim di Purwokerto, Endom Kustomo, menyatakan, dirinya sangat mendukung kegiatan yang ditujukan untuk memajukan Dayeuhluhur.
Sebagai warga Dayeuhluhur, dia mengaku prihatin karena banyak potensi khususnya sektor pariwisata di desanya yang hingga saat ini belum tergarap secara maksimal.
"Padahal, Dayeuhluhur memiliki berbagai potensi atau kekayaan alam, tetapi hingga saat ini belum tergarap secara maksimal. Untuk itu, saya sangat mendukung kegiatan 'Ngarumat Lembur' ini karena siapa tahu ada pemikiran atau ide kreatif untuk memajukan Dayeuhluhur," kata Endom yang juga terlibat dalam kepanitiaan acara tersebut.
Terkait dengan masalah pembahasan bahasa Sunda khas Dayeuhluhur, dia mengatakan, hal itu memiliki keunikan tersendiri karena banyak istilah yang digunakan masyarakat Dayeuhluhur tidak ditemukan dalam bahasa Sunda yang banyak digunakan oleh masyarakat Jawa Barat.
Bahkan, kata dia, antarkampung di Dayeuhluhur pun sering kali ditemukan istilah dalam bahasa Sunda yang berbeda meskipun artinya sama.
"Konon bahasa Sunda yang digunakan masyarakat Dayeuhluhur merupakan bahasa Sunda kuno yang berkembang dalam masyarakat di luar keraton meskipun wilayah ini masuk kekuasaan Kerajaan Galuh," katanya.
Selain bahasa Sunda khas Dayeuhluhur, kata dia, bahasa Sunda yang digunakan masyarakat Genteng, Kecamatan Cimanggu, Cilacap, juga memiliki kekhasan sendiri yang berbeda dengan bahasa Sunda yang digunakan sebagian masyarakat Kabupaten Cilacap bagian barat.
Curug Cimandaway
Curug Cimandaway ini berlokasi di Desa Datar, Kecamatan Dayeuhluhur, yang merupakan kecamatan di Kabupaten Cilacap paling barat yang berbatasan dengan Kota Banjar dan Kabupaten Kuningan di Jawa Barat serta Kabupaten Brebes (Jawa Tengah).
Untuk menjangkau curug ini cukup mudah karena berada sekitar 30 kilometer ke arah utara dari jalan nasional di jalur selatan Jateng dengan pintu masuk melalui pertigaan Mergo, Desa Panulisan, Kecamatan Dayeuhluhur, yang berjarak sekitar 100 kilometer dari Kota Cilacap.
Kondisi jalan sejauh 20 kilometer dari pertigaan Mergo hingga Desa Datar dalam keadaan halus dan berliku dengan pemandangan kebun karet serta sawah dan suasana pedesaan.
Akan tetapi kondisi jalan dari Desa Datar menuju Curug Cimandaway dalam keadaan rusak sehingga kurang nyaman untuk berkendaraan.
Curug Cimandaway yang berada di perkebunan karet milik Perhutani Banyumas Barat ini, memiliki lima tingkatan dengan total ketinggian sekitar 100 meter tetapi yang terlihat jelas hanya 75 meter.
Keunikan curug atau air terjun ini adalah sumber airnya berasal dari Sungai Singaraja dan airnya jatuh ke Sungai Cikawalon yang berada di bawahnya.
Sementara itu, Kepala Desa Datar, Sumar, mengatakan, sebenarnya banyak wisatawan yang tertarik untuk mengunjungi Curug Cimandaway ini.
Menurut dia, hal itu terlihat dari jumlah pengunjung di hari libur berkisar antara 50-100 orang. Mereka berasal dari wilayah Kabupaten Cilacap maupun Jawa Barat, seperti Kota Banjar, Kabupaten Ciamis, dan Kabupaten Kuningan.
Akan tetapi, kata dia, kondisi jalan menuju curug tersebut masih dalam keadaan rusak sehingga wisatawan kesulitan untuk menjangkaunya.
"Kami telah mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Cilacap agar jalan menuju Curug Cimandaway ini segera diperbaiki. Insya Allah bulan Mei mendatang, jalan tersebut akan diaspal dengan anggaran yang dialokasikan dari APBD Perubahan," katanya.
Menurut dia, pengelolaan Curug Cimandaway rencananya akan melibatkan karang taruna.
Selain itu, dia mengharapkan, para "facebookers" yang tergabung dalam DOF turut mempromosikan keberadaan Curug Cimandaway maupun "urun rembug" untuk kemajuan kampung halaman mereka di Dayeuhluhur. (http://www.antarajateng.com)
Nusakambangan, Benteng Cilacap Kian Terancam
Minggu, 18 Apr 2010 18:06:49 WIB | Oleh : Sumarwoto/Hernawan Wahyudono
Pulau Nusakambangan di selatan Cilacap, Jawa Tengah, pernah membuktikan kepekerkasaannya menjadi benteng bagi kawasan itu saat bencana tsunami pada 17 Juli 2006.
Tapi apakah Nusakambangan akan tetap menjadi benteng jika bencana serupa kembali terjadi, sementara perusakan alam Nusakambangan terus berlangsung?
Koordinator Lapangan Polisi Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Tengah Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang-Cilacap Rahmat Hidayat mengatakan, pembalakan liar di kawasan hutan Nusakambangan kembali marak.
"Namun selama 2010 ini, kami belum berhasil menangkap para pelakunya lantaran operasi yang kami gelar sering kali bocor," kata Rahmat di Cilacap, Kamis (15/4).
Menurut dia, pembalakan liar marak terjadi di kawasan Nusakambangan Barat dan Nusakambangan Tengah.
Lahan di kawasan Nusakambangan Barat seluas 928 hektare dan Nusakambangan Timur seluas 227 hektare merupakan wilayah konservasi yang diawasi BKSDA Provinsi Jateng.
Sementara sisanya yang berada di Nusakambangan Tengah, bukan merupakan wilayah pengawasan BKSDA.
"Seharusnya wilayah tersebut merupakan kawasan hutan lindung, tetapi hingga saat ini masih menjadi kawasan "abu-abu". Pemerintah Kabupaten Cilacap pernah mengajukan permohonan untuk menjadikan wilayah tersebut menjadi kawasan hutan lindung kepada Kementerian Kehutanan, tetapi sampai sekarang belum terealisasi," kata Rahmat.
Seperti diketahui, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat mengunjungi Nusakambangan pada 7 April 2010, mengakui belum mengeluarkan surat keputusan penetapan hutan Nusakambangan di luar kawasan konservasi sebagai kawasan hutan lindung dan cagar alam meskipun lembaga pemasyarakatan di pulau ini menyatakan bahwa hutan Nusakambangan merupakan kawasan konservasi, hutan lindung, dan cagar alam.
Lebih lanjut mengenai pembalakan liar di Nusakambangan, Rahmat Hidayat mengatakan, hal itu banyak dilakukan oleh pendatang dari wilayah Jawa Barat.
"Kalau warga sekitar Pulau Nusakambangan, seperti Kecamatan Kampung Laut, sudah mulai menyadari. Mereka merasakan perusakan alam Nusakambangan telah mengakibatkan berkurangnya pasokan air bersih," katanya.
Menurut dia, selama ini warga Kecamatan Kampung Laut sangat mengandalkan pasokan air bersih dari Pulau Nusakambangan yang disalurkan melalui pipa ke rumah-rumah mereka.
Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Wilayah Pemalang di Cilacap, Teguh Arifianto menambahkan, BKSDA memperoleh informasi dari masyarakat jika oknum pegawai lapas yang sudah lama melegalkan pembalakan liar di hutan Nusakambangan.
"Informasi yang kami terima, di daerah Karangrena ada dua oknum yang diduga terlibat, masing-masing berinisial N dan B, sedangkan di Karangsari ada seorang oknum. Akan tetapi kami belum mengetahui identitas oknum tersebut," kata dia yang bertugas di wilayah Nusakambangan Barat.
Menurut dia, BKSDA Wilayah Cilacap masih menyelidiki dugaan keterlibatan oknum tersebut untuk membuktikan kebenarannya.
Sementara mengenai pelaku pembalakan liar yang tertangkap, dia mengatakan, petugas gabungan dari BKSDA, Satuan Polisi Air Kepolisian Resor Cilacap, dan Satuan Polisi Pamong Praja Pemkab Cilacap sering kali mengalah karena harus berhadapan dengan massa.
"Kami pernah menangkap pelaku pembalakan liar tetapi keluarganya datang sambil menangis minta pelaku dibebaskan. Bahkan warga satu kampung juga mendatangi kami sehingga terpaksa pelaku pembalakan liar ini kami lepaskan," katanya.
Dia mengakui pengawasan terhadap hutan di kawasan Nusakambangan Barat menghadapi sejumlah kendala, antara lain lokasinya yang cukup jauh dan keterbatasan jumlah personel.
Ia mengatakan, jumlah personel BKSDA Jateng Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang yang ditempatkan di Cilacap hanya 14 orang, tiga di antaranya bertugas Pulau Nusakambangan.
"Kami sangat kerepotan dengan jumlah personel tiga orang karena luas Pulau Nusakambangan mencapai 11.510 hektare," kata Teguh.
Terkait dugaan keterlibatan oknum pegawai lapas dalam kegiatan pembalakan liar di hutan Nusakambangan, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Tengah Chairuddin Idrus mengatakan, pihaknya akan menindak tegas jika ada oknum pegawai lapas yang terlibat dalam pembalakan liar di hutan Nusakambangan.
"Kalau ternyata oknum-oknum itu melakukan pembalakan, tidak ada ampun lagi. Kalau wartawan tahu, laporkan ke saya, nama siapa, dari lapas mana, nanti akan diproses," tegasnya.
Dia mengaku pernah mendapat laporan adanya sejumlah oknum pegawai lapas yang diduga terlibat dalam pembalakan liar di Nusakambangan.
Menurut dia, hal itu telah ditindaklanjuti dengan memberikan peringatan bagi oknum-oknum tersebut.
"Kami juga akan memberikan somasi bagi masyarakat yang bermukim di sekitar Pulau Nusakambangan untuk segera meninggalkan kawasan konservasi tersebut. Jika ada yang sudah terlanjur bercocok tanam, misalnya tanaman padi, kami beri kesempatan hingga masa panen," katanya.
Terkait adanya pembukaan lahan untuk penanaman pohon sengon, dia mengatakan, pihaknya saat ini sedang menginventarisasinya dan lahan tersebut nantinya akan ditanami dengan tanaman asli Nusakambangan.
Menurut dia, Kemenkumham menghendaki adanya pelestarian hutan di Pulau Nusakambangan yang ditandai dalam bentuk kerja sama dengan Kementerian Kehutanan beberapa waktu lalu.
Dalam hal ini, kata dia, Kementerian Kehutanan telah menyatakan siap memasok kebutuhan bibit pohon, khususnya pohon jati unggul nusantara untuk ditanam di Nusakambangan.
"Kami juga telah membentuk Satuan Tugas Keamanan dan Ketertiban yang bertugas di luar lapas. Mereka akan memantau dan menertibkan pendatang liar di Nusakambangan, termasuk mengantisipasi terjadinya pembalakan liar," katanya.
Penambangan Kapur
Selain disebabkan pembalakan liar, aktivitas penambangan batu kapur oleh PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant di Pulau Nusakambangan diduga turut menjadi penyebab kerusakan hutan di pulau ini.
"Kerusakan hutan di Pulau Nusakambangan juga disebabkan aktivitas penambangan batu kapur oleh PT Holcim Indonesia," kata Koordinator Lapangan Polisi Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang-Cilacap Rahmat Hidayat.
Ia mengatakan, banyak kawasan hutan di Nusakambangan yang telah dibuka sebagai areal penambangan oleh Holcim tetapi hingga sekarang belum direklamasi.
Kendati demikian, dia mengakui sebagian lahan tersebut telah direklamasi oleh Holcim. "Namun masih banyak juga lahan yang belum direklamasi," katanya.
Akan tetapi, kata dia, BKSDA kesulitan untuk memantau kerusakan alam akibat aktivitas penambangan tersebut karena berada di luar kawasan konservasi yang menjadi wilayah pengawasannya.
"Jika wilayah tersebut sudah menjadi kawasan hutan lindung, kami akan lebih mudah melakukan pengawasan dan menjalankan amanat undang-undang," katanya.
Terkait penambangan tersebut, Rahmat mengatakan, ada hutan di sebuah bukit di Nusakambangan yang telah dibuka Holcim beberapa tahun lalu tetapi tidak jadi untuk areal tambang dan hingga sekarang belum direklamasi.
"Konon setelah diteliti, kandungan tanahnya tidak memenuhi kriteria bahan baku semen sehingga lahan tersebut tidak jadi ditambang, tetapi hingga sekarang belum direklamasi," katanya.
Ia mengakui sikap kritis yang ditunjukkan para personel BKSDA Seksi Konservasi II Wilayah Pemalang di Cilacap terhadap kondisi alam Nusakambangan, menyebabkan lembaga ini seolah "tidak ada" di mata Holcim.
Sebelum memulai aktivitas reklamasi, kata dia, Holcim pernah berkonsultasi dengan BKSDA tetapi saat pelaksanaannya sama sekali tidak mengundang BKSDA.
Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga menduga adanya pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan Holcim di Nusakambangan sehingga setiap kali ada yang mengritisi, selalu ada pihak yang meng-membela.
Ia menilai Pemerintah Kabupaten Cilacap seolah lepas tangan terhadap kerusakan hutan Nusakambangan oleh Holcim.
"Salah satu polisi hutan senior kami yang sangat kritis terhadap Nusakambangan, pernah diundang ke sebuah hotel di Purwokerto. Polisi hutan tersebut sempat berusaha 'disumpal' untuk tidak terlalu kritis, tetapi dia menolaknya karena sangat peduli terhadap Nusakambangan," kata Rahmat.
Sementara itu, Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Wilayah Pemalang di Cilacap, Teguh Arifianto mengatakan, aktivitas penambangan yang dilakukan Holcim di Nusakambangan sudah termasuk merusak bentang alam.
"Dalam hal ini, Holcim meratakan bukit dan menggali dataran rendah untuk diambil bahan tambangnya," katanya.
Selain itu, kata dia, pengambilan bahan tambang menggunakan bahan peledak juga dapat merusak kondisi alam sekitar.
Kurang tegasnya sikap Pemkab Cilacap terhadap Pulau Nusakambangan ini ditujukan oleh sebuah pemberitaan di media online Bagian Humas Sekretariat Daerah Cilacap pada 31 Maret 2010.
Pemberitaan yang dirilis oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Cilacap Sunarno menyebutkan, kekhawatiran masyarakat akan kerusakan lingkungan yang berakibat beralihnya fungsi Pulau Nusakambangan dianggap berlebihan.
Dalam hal ini, menurut dia, luas area tambang batu kapur hanya tiga persen dari luas Pulau Nusakambangan, selain itu PT Holcim Indonesia melaksanakan reklamasi dan revegetasi/penghijauan terhadap lahan bekas tambang sebagai upaya kelestarian lingkungan hidup.
Pernyataan tersebut disampaikan Sunarno setelah Wakil Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji bersama sejumlah pejabat kabupaten ini memantau kondisi Pulau Nusakambangan dari udara menggunakan helikopter pertengahan Maret lalu.
Demikian pula yang disampaikan Quarry Manager PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant, Yani Mutiara kepada wartawan saat kegiatan "press tour" ke lokasi penambangan batu kapur di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Kamis (25/3).
Menurut dia, PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant hingga 2009 telah mereklamasi lahan bekas tambang kapur di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, seluas 17,76 hektare dengan jumlah pohon 6.670 batang.
"Sementara luas area tambang hingga 2009 mencapai 112,45 hektare," katanya.
Ia mengatakan, luas area penambangan batu kapur Nusakambangan sesuai Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) yang dimiliki Holcim hanya 1.000 hektare atau kurang dari 10 persen luas seluruh pulau yang mencapai 11.510 hektare.
Menurut dia, luas area yang mengandung batu kapur hanya 400 hektare dan batas akhir penambangan yang diizinkan hanya 10 meter di atas permukaan laut.
Terkait area tambang seluas 112,45 hektare tersebut, dia mengatakan, luasan tersebut terbagi tambang aktif seluas 56,88 hektare, area penghijauan (17,76 ha), "settling pond" atau kolam penyelesaian (2,20 ha), "soil disposal" atau tanah buangan (4,96 ha), emplasemen (10,80 ha), area yang belum ditambang (11,05 ha), dan lahan tidak berbatu kapur (8,80 ha).
"Kami perkirakan luas tambang aktif tahun 2063 mencapai 60 hektare atau 0,52 persen luas Pulau Nusakambangan dengan rencana revegetasi atau reklamasi hingga tahun tersebut seluas 290 hektare. Dengan demikian, akumulasi area pemanfaatan SIPD sampai tahun 2063 seluas 350 hektare," katanya.
Terkait upaya reklamasi atau revegetasi yang dilakukan, dia mengatakan, PT Holcim Indonesia menyediakan lahan pembibitan tanaman khas Nusakambangan.
Menurut dia, bibit-bibit tanaman tersebut berasal dari hutan Nusakambangan, antara lain wuni, laban, sindungan, dan bayur.
"Kalau tidak dapat diperoleh dari hutan, kami mendatangkannya dari luar Nusakambangan. Kami juga telah menyusun rencana revegetasi lima tahunan area tambang, yakni periode 2009-2013," katanya.
Ia mengatakan, revegetasi tahun 2009 telah dilakukan pada lahan seluas dua hektare pada "quarry" (area tambang) V, VIII B, dan IX, sedangkan tahun 2010 direncanakan seluas lima hektare, 2011 (5 ha), 2012 (6 ha), dan 2013 (3 ha).
Dalam pelaksanaan revegetasi, kata dia, hal itu dilakukan dengan bantuan teknis dari Pemerintah Kabupaten Cilacap berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 660.1/116/29/2009 tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Tim Teknis Revegetasi.
"Bahkan, kami juga membayar jaminan reklamasi berdasarkan keputusan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Cilacap. Dalam hal ini, Pemkab Cilacap akan mereklamasi lahan menggunakan dana jaminan tersebut jika kami tidak melakukan reklamasi," kata Yani.
Sementara itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat mengunjungi Nusakambangan pada 7 April 2010, mengatakan kawasan hutan lindung, konservasi, dan cagar alam tidak dibenarkan untuk dijadikan areal tambang.
Menurut dia, hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Terkait aktivitas penambangan batu kapur oleh Holcim di Nusakambangan yang diperkirakan akan berlangsung hingga tahun 2063, dia mengaku sangat terkejut.
"Wah, habis nanti Pulau Nusakambangan. Saya kira harus ada tindakan tegas dan evaluasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia karena pulau ini kewenangannya," kata Zulkifli. (http://www.antarajateng.com)
Pulau Nusakambangan di selatan Cilacap, Jawa Tengah, pernah membuktikan kepekerkasaannya menjadi benteng bagi kawasan itu saat bencana tsunami pada 17 Juli 2006.
Tapi apakah Nusakambangan akan tetap menjadi benteng jika bencana serupa kembali terjadi, sementara perusakan alam Nusakambangan terus berlangsung?
Koordinator Lapangan Polisi Hutan Balai Konservasi Sumber Daya Alam Provinsi Jawa Tengah Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang-Cilacap Rahmat Hidayat mengatakan, pembalakan liar di kawasan hutan Nusakambangan kembali marak.
"Namun selama 2010 ini, kami belum berhasil menangkap para pelakunya lantaran operasi yang kami gelar sering kali bocor," kata Rahmat di Cilacap, Kamis (15/4).
Menurut dia, pembalakan liar marak terjadi di kawasan Nusakambangan Barat dan Nusakambangan Tengah.
Lahan di kawasan Nusakambangan Barat seluas 928 hektare dan Nusakambangan Timur seluas 227 hektare merupakan wilayah konservasi yang diawasi BKSDA Provinsi Jateng.
Sementara sisanya yang berada di Nusakambangan Tengah, bukan merupakan wilayah pengawasan BKSDA.
"Seharusnya wilayah tersebut merupakan kawasan hutan lindung, tetapi hingga saat ini masih menjadi kawasan "abu-abu". Pemerintah Kabupaten Cilacap pernah mengajukan permohonan untuk menjadikan wilayah tersebut menjadi kawasan hutan lindung kepada Kementerian Kehutanan, tetapi sampai sekarang belum terealisasi," kata Rahmat.
Seperti diketahui, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat mengunjungi Nusakambangan pada 7 April 2010, mengakui belum mengeluarkan surat keputusan penetapan hutan Nusakambangan di luar kawasan konservasi sebagai kawasan hutan lindung dan cagar alam meskipun lembaga pemasyarakatan di pulau ini menyatakan bahwa hutan Nusakambangan merupakan kawasan konservasi, hutan lindung, dan cagar alam.
Lebih lanjut mengenai pembalakan liar di Nusakambangan, Rahmat Hidayat mengatakan, hal itu banyak dilakukan oleh pendatang dari wilayah Jawa Barat.
"Kalau warga sekitar Pulau Nusakambangan, seperti Kecamatan Kampung Laut, sudah mulai menyadari. Mereka merasakan perusakan alam Nusakambangan telah mengakibatkan berkurangnya pasokan air bersih," katanya.
Menurut dia, selama ini warga Kecamatan Kampung Laut sangat mengandalkan pasokan air bersih dari Pulau Nusakambangan yang disalurkan melalui pipa ke rumah-rumah mereka.
Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Wilayah Pemalang di Cilacap, Teguh Arifianto menambahkan, BKSDA memperoleh informasi dari masyarakat jika oknum pegawai lapas yang sudah lama melegalkan pembalakan liar di hutan Nusakambangan.
"Informasi yang kami terima, di daerah Karangrena ada dua oknum yang diduga terlibat, masing-masing berinisial N dan B, sedangkan di Karangsari ada seorang oknum. Akan tetapi kami belum mengetahui identitas oknum tersebut," kata dia yang bertugas di wilayah Nusakambangan Barat.
Menurut dia, BKSDA Wilayah Cilacap masih menyelidiki dugaan keterlibatan oknum tersebut untuk membuktikan kebenarannya.
Sementara mengenai pelaku pembalakan liar yang tertangkap, dia mengatakan, petugas gabungan dari BKSDA, Satuan Polisi Air Kepolisian Resor Cilacap, dan Satuan Polisi Pamong Praja Pemkab Cilacap sering kali mengalah karena harus berhadapan dengan massa.
"Kami pernah menangkap pelaku pembalakan liar tetapi keluarganya datang sambil menangis minta pelaku dibebaskan. Bahkan warga satu kampung juga mendatangi kami sehingga terpaksa pelaku pembalakan liar ini kami lepaskan," katanya.
Dia mengakui pengawasan terhadap hutan di kawasan Nusakambangan Barat menghadapi sejumlah kendala, antara lain lokasinya yang cukup jauh dan keterbatasan jumlah personel.
Ia mengatakan, jumlah personel BKSDA Jateng Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang yang ditempatkan di Cilacap hanya 14 orang, tiga di antaranya bertugas Pulau Nusakambangan.
"Kami sangat kerepotan dengan jumlah personel tiga orang karena luas Pulau Nusakambangan mencapai 11.510 hektare," kata Teguh.
Terkait dugaan keterlibatan oknum pegawai lapas dalam kegiatan pembalakan liar di hutan Nusakambangan, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Jawa Tengah Chairuddin Idrus mengatakan, pihaknya akan menindak tegas jika ada oknum pegawai lapas yang terlibat dalam pembalakan liar di hutan Nusakambangan.
"Kalau ternyata oknum-oknum itu melakukan pembalakan, tidak ada ampun lagi. Kalau wartawan tahu, laporkan ke saya, nama siapa, dari lapas mana, nanti akan diproses," tegasnya.
Dia mengaku pernah mendapat laporan adanya sejumlah oknum pegawai lapas yang diduga terlibat dalam pembalakan liar di Nusakambangan.
Menurut dia, hal itu telah ditindaklanjuti dengan memberikan peringatan bagi oknum-oknum tersebut.
"Kami juga akan memberikan somasi bagi masyarakat yang bermukim di sekitar Pulau Nusakambangan untuk segera meninggalkan kawasan konservasi tersebut. Jika ada yang sudah terlanjur bercocok tanam, misalnya tanaman padi, kami beri kesempatan hingga masa panen," katanya.
Terkait adanya pembukaan lahan untuk penanaman pohon sengon, dia mengatakan, pihaknya saat ini sedang menginventarisasinya dan lahan tersebut nantinya akan ditanami dengan tanaman asli Nusakambangan.
Menurut dia, Kemenkumham menghendaki adanya pelestarian hutan di Pulau Nusakambangan yang ditandai dalam bentuk kerja sama dengan Kementerian Kehutanan beberapa waktu lalu.
Dalam hal ini, kata dia, Kementerian Kehutanan telah menyatakan siap memasok kebutuhan bibit pohon, khususnya pohon jati unggul nusantara untuk ditanam di Nusakambangan.
"Kami juga telah membentuk Satuan Tugas Keamanan dan Ketertiban yang bertugas di luar lapas. Mereka akan memantau dan menertibkan pendatang liar di Nusakambangan, termasuk mengantisipasi terjadinya pembalakan liar," katanya.
Penambangan Kapur
Selain disebabkan pembalakan liar, aktivitas penambangan batu kapur oleh PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant di Pulau Nusakambangan diduga turut menjadi penyebab kerusakan hutan di pulau ini.
"Kerusakan hutan di Pulau Nusakambangan juga disebabkan aktivitas penambangan batu kapur oleh PT Holcim Indonesia," kata Koordinator Lapangan Polisi Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi Wilayah II Pemalang-Cilacap Rahmat Hidayat.
Ia mengatakan, banyak kawasan hutan di Nusakambangan yang telah dibuka sebagai areal penambangan oleh Holcim tetapi hingga sekarang belum direklamasi.
Kendati demikian, dia mengakui sebagian lahan tersebut telah direklamasi oleh Holcim. "Namun masih banyak juga lahan yang belum direklamasi," katanya.
Akan tetapi, kata dia, BKSDA kesulitan untuk memantau kerusakan alam akibat aktivitas penambangan tersebut karena berada di luar kawasan konservasi yang menjadi wilayah pengawasannya.
"Jika wilayah tersebut sudah menjadi kawasan hutan lindung, kami akan lebih mudah melakukan pengawasan dan menjalankan amanat undang-undang," katanya.
Terkait penambangan tersebut, Rahmat mengatakan, ada hutan di sebuah bukit di Nusakambangan yang telah dibuka Holcim beberapa tahun lalu tetapi tidak jadi untuk areal tambang dan hingga sekarang belum direklamasi.
"Konon setelah diteliti, kandungan tanahnya tidak memenuhi kriteria bahan baku semen sehingga lahan tersebut tidak jadi ditambang, tetapi hingga sekarang belum direklamasi," katanya.
Ia mengakui sikap kritis yang ditunjukkan para personel BKSDA Seksi Konservasi II Wilayah Pemalang di Cilacap terhadap kondisi alam Nusakambangan, menyebabkan lembaga ini seolah "tidak ada" di mata Holcim.
Sebelum memulai aktivitas reklamasi, kata dia, Holcim pernah berkonsultasi dengan BKSDA tetapi saat pelaksanaannya sama sekali tidak mengundang BKSDA.
Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga menduga adanya pihak-pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan Holcim di Nusakambangan sehingga setiap kali ada yang mengritisi, selalu ada pihak yang meng-membela.
Ia menilai Pemerintah Kabupaten Cilacap seolah lepas tangan terhadap kerusakan hutan Nusakambangan oleh Holcim.
"Salah satu polisi hutan senior kami yang sangat kritis terhadap Nusakambangan, pernah diundang ke sebuah hotel di Purwokerto. Polisi hutan tersebut sempat berusaha 'disumpal' untuk tidak terlalu kritis, tetapi dia menolaknya karena sangat peduli terhadap Nusakambangan," kata Rahmat.
Sementara itu, Pengendali Ekosistem Hutan BKSDA Jateng Seksi Konservasi II Wilayah Pemalang di Cilacap, Teguh Arifianto mengatakan, aktivitas penambangan yang dilakukan Holcim di Nusakambangan sudah termasuk merusak bentang alam.
"Dalam hal ini, Holcim meratakan bukit dan menggali dataran rendah untuk diambil bahan tambangnya," katanya.
Selain itu, kata dia, pengambilan bahan tambang menggunakan bahan peledak juga dapat merusak kondisi alam sekitar.
Kurang tegasnya sikap Pemkab Cilacap terhadap Pulau Nusakambangan ini ditujukan oleh sebuah pemberitaan di media online Bagian Humas Sekretariat Daerah Cilacap pada 31 Maret 2010.
Pemberitaan yang dirilis oleh Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Cilacap Sunarno menyebutkan, kekhawatiran masyarakat akan kerusakan lingkungan yang berakibat beralihnya fungsi Pulau Nusakambangan dianggap berlebihan.
Dalam hal ini, menurut dia, luas area tambang batu kapur hanya tiga persen dari luas Pulau Nusakambangan, selain itu PT Holcim Indonesia melaksanakan reklamasi dan revegetasi/penghijauan terhadap lahan bekas tambang sebagai upaya kelestarian lingkungan hidup.
Pernyataan tersebut disampaikan Sunarno setelah Wakil Bupati Cilacap Tatto Suwarto Pamuji bersama sejumlah pejabat kabupaten ini memantau kondisi Pulau Nusakambangan dari udara menggunakan helikopter pertengahan Maret lalu.
Demikian pula yang disampaikan Quarry Manager PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant, Yani Mutiara kepada wartawan saat kegiatan "press tour" ke lokasi penambangan batu kapur di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Kamis (25/3).
Menurut dia, PT Holcim Indonesia Tbk Cilacap Plant hingga 2009 telah mereklamasi lahan bekas tambang kapur di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah, seluas 17,76 hektare dengan jumlah pohon 6.670 batang.
"Sementara luas area tambang hingga 2009 mencapai 112,45 hektare," katanya.
Ia mengatakan, luas area penambangan batu kapur Nusakambangan sesuai Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD) yang dimiliki Holcim hanya 1.000 hektare atau kurang dari 10 persen luas seluruh pulau yang mencapai 11.510 hektare.
Menurut dia, luas area yang mengandung batu kapur hanya 400 hektare dan batas akhir penambangan yang diizinkan hanya 10 meter di atas permukaan laut.
Terkait area tambang seluas 112,45 hektare tersebut, dia mengatakan, luasan tersebut terbagi tambang aktif seluas 56,88 hektare, area penghijauan (17,76 ha), "settling pond" atau kolam penyelesaian (2,20 ha), "soil disposal" atau tanah buangan (4,96 ha), emplasemen (10,80 ha), area yang belum ditambang (11,05 ha), dan lahan tidak berbatu kapur (8,80 ha).
"Kami perkirakan luas tambang aktif tahun 2063 mencapai 60 hektare atau 0,52 persen luas Pulau Nusakambangan dengan rencana revegetasi atau reklamasi hingga tahun tersebut seluas 290 hektare. Dengan demikian, akumulasi area pemanfaatan SIPD sampai tahun 2063 seluas 350 hektare," katanya.
Terkait upaya reklamasi atau revegetasi yang dilakukan, dia mengatakan, PT Holcim Indonesia menyediakan lahan pembibitan tanaman khas Nusakambangan.
Menurut dia, bibit-bibit tanaman tersebut berasal dari hutan Nusakambangan, antara lain wuni, laban, sindungan, dan bayur.
"Kalau tidak dapat diperoleh dari hutan, kami mendatangkannya dari luar Nusakambangan. Kami juga telah menyusun rencana revegetasi lima tahunan area tambang, yakni periode 2009-2013," katanya.
Ia mengatakan, revegetasi tahun 2009 telah dilakukan pada lahan seluas dua hektare pada "quarry" (area tambang) V, VIII B, dan IX, sedangkan tahun 2010 direncanakan seluas lima hektare, 2011 (5 ha), 2012 (6 ha), dan 2013 (3 ha).
Dalam pelaksanaan revegetasi, kata dia, hal itu dilakukan dengan bantuan teknis dari Pemerintah Kabupaten Cilacap berdasarkan Surat Keputusan Bupati Nomor 660.1/116/29/2009 tentang Pembentukan Tim Koordinasi dan Tim Teknis Revegetasi.
"Bahkan, kami juga membayar jaminan reklamasi berdasarkan keputusan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Cilacap. Dalam hal ini, Pemkab Cilacap akan mereklamasi lahan menggunakan dana jaminan tersebut jika kami tidak melakukan reklamasi," kata Yani.
Sementara itu, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan saat mengunjungi Nusakambangan pada 7 April 2010, mengatakan kawasan hutan lindung, konservasi, dan cagar alam tidak dibenarkan untuk dijadikan areal tambang.
Menurut dia, hal itu telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Terkait aktivitas penambangan batu kapur oleh Holcim di Nusakambangan yang diperkirakan akan berlangsung hingga tahun 2063, dia mengaku sangat terkejut.
"Wah, habis nanti Pulau Nusakambangan. Saya kira harus ada tindakan tegas dan evaluasi dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia karena pulau ini kewenangannya," kata Zulkifli. (http://www.antarajateng.com)
Anak Itu Terdakwa Pembalakan Liar
Rabu, 05 Mei 2010 22:32:02 WIB | Oleh : Sumarwoto/M Hari Atmoko
Anak di bawah umur, Wito bin Rasum (17), untuk kedua kalinya datang ke Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu (5/5), sebagai terdakwa kasus pencurian dua batang pohon pinus di hutan milik Perhutani Banyumas Timur.
Dengan wajah lesu, dia pun turun dari sepeda motor milik tukang ojek yang mengantarkannya dari rumahnya di Dusun Karangmiri RT 07 RW 07, Desa Panusupan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.
Kedatangan Wito yang didampingi kakak tertuanya, Dartem dan pamannya, Ahmad Fathoni serta Kepala Desa Panusupan Sukur Aminudin di PN Purwokerto langsung disambut aksi unjuk rasa belasan aktivis lingkungan.
Kendati demikian, unjuk rasa tersebut bukanlah kecaman terhadap Wito yang didakwa mencuri dua batang pohon pinus, melainkan sebagai bentuk solidaritas bagi anak baru gede (ABG) tersebut.
"Ini merupakan bentuk solidaritas kami kepada Wito yang didakwa mencuri dua batang pohon pinus milik Perhutani, tetapi dikenai pasal pembalakan liar, dan dia juga masih di bawah umur. Wito bukan kriminalitas, tetapi dia dikriminalisasi," kata koordinator aksi, Bangkit Ari Sasongko.
Bahkan, Wito bersama keluarganya pun diajak ikut serta dalam aksi solidaritas tersebut.
Wito yang mengenakan kemeja warna coklat dan bercelana panjang warna hitam serta bersandal jepit warna hijau itu pun terlihat matanya berkaca-kaca.
ABG yang memiliki sifat pendiam ini seakan ingin mengatakan bahwa dirinya tidak tahu kalau perbuatannya mengambil dua batang pohon pinus di petak 17a hutan milik Perhutani Banyumas Timur itu melanggar hukum.
Dalam hal ini, Wito didakwa mencuri dua pohon pinus yang dipotong menjadi 11 bagian di petak 17a hutan Perhutani Banyumas Timur yang masuk wilayah Desa Panusupan pada 6 Maret 2010 dengan nilai kerugian korban sebesar Rp600 ribu.
Wito ditangkap pada 7 Maret 2010 bersama seorang kenalannya yang mengajak mencuri kayu tersebut, Supardi (28), saat hendak mengambil kayu yang ditebang sehari sebelumnya. Sedangkan tiga pelaku lainnya, yakni Carkim, Wasum, dan Wanto berhasil kabur saat penangkapan tersebut.
Terkait dengan kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ninik Rahma pada persidangan pertama, Rabu (28/5), mendakwa Wito sesuai Pasal 50 ayat 3 huruf e juncto Pasal 78 ayat 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juncto Pasal 55 (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.
Sementara dalam sidang lanjutan yang bersifat tertutup pada Rabu (5/5) dengan hakim tunggal, Harto Poncono, diisi dengan dua agenda, yakni pemeriksaan saksi yang meringankan terdakwa dan pemeriksaan terdakwa.
Dalam sidang tersebut, Wito tampak didampingi seorang petugas dari PN Purwokerto.
Menurut penasihat hukum Wito, Rahardian Prasetyo, kliennya terpaksa didampingi seorang penerjemah lantaran dia tidak lancar berbahasa Indonesia.
"Sejumlah pertanyaan yang diajukan hakim kepada saksi dan terdakwa, antara lain mengenai pendidikan dan pergaulan Wito serta perekonomian keluarga," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, pihaknya mengajukan tiga saksi, yakni Ahmad Fathoni (paman Wito), Dartem (kakak tertua Wito), dan Kepala Desa Panusupan, Sukur Aminudin.
Ia mengatakan, persidangan terhadap kliennya diharapkan dapat berlangsung cepat untuk menghemat ongkos karena Wito berasal dari keluarga tak mampu.
"Kalau nantinya setelah ada pledoi atau pembelaan, JPU mengajukan replik, kami berharap bisa menyampaikan duplik secara lisan sehingga sidang dapat berlangsung cepat," katanya.
Saat ditemui seusai persidangan, Wito mengatakan, dirinya ingin dibebaskan dari dakwaan tersebut.
Anak yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar ini mengaku sama sekali tidak tahu kalau mengambil kayu pinus di hutan milik Perhutani merupakan sebuah pelanggaran hukum.
"Saya diajak Carkim mengambil kayu pinus di hutan untuk dijadikan kayu bakar pada Sabtu malam (6/4)," katanya dalam bahasa Jawa Banyumasan.
Akan tetapi keesokan harinya saat hendak mengambil kayu yang telah ditebang, dia bersama Supardi justru ditangkap oleh sejumlah polisi hutan dan langsung dibawa ke Kepolisian Sektor Cilongok.
"Berbagai macam pertanyaan ditujukan polisi kepada saya hingga akhirnya saya disidang di sini. Saya ingin dibebaskan dari ancaman hukuman," kata dia yang mengaku takut saat menghadapi hakim di meja hijau.
Sementara kakak Wito, Dartem mengatakan, adiknya yang hanya mengenyam pendidikan SD selama sembilan tahun ini tidak pernah berulah macam-macam.
Menurut dia, Wito yang pendiam ini jarang bergaul sehingga tak memiliki banyak teman.
"Dia lebih banyak bermain di sekitar rumah dan membantu orang tua," katanya.
Bahkan untuk hadir ke persidangan, dia mengaku tidak memiliki uang sehingga harus mencari pinjaman.
"Kami terpaksa pinjam utang sebesar Rp120 ribu untuk membayar ojek," katanya.
Pernyataan Dartem ini dibenarkan Kades Panusupan, Sukur Aminudin, bahwa Wito tidak pernah berbuat kriminal meskipun dia berasal dari keluarga tak mampu.
Menurut dia, ayah Wito, Rasum (55), hanya bekerja sebagai buruh cangkul dengan penghasilan Rp20 ribu per hari.
"Itu pun kalau ada yang memintanya mencangkul, kalau tak ada ya bekerja apa adanya. Sementara ibunya, Lasem (45) hanya sebagai ibu rumah tangga," katanya.
Terkait dengan kasus tersebut, dia mengaku sangat kecewa terhadap Perhutani yang seolah lepas tangan dan menyerahkannya kepada kepolisian tanpa adanya pembicaraan melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Panusupan.
Padahal, pada awal pembentukan LMDH, kata dia, Perhutani menyatakan segala permasalahan yang berkaitan dengan hutan termasuk pencurian kayu kecil-kecilan dapat diselesaikan melalui lembaga ini.
"Akan tetapi Wito langsung dibawa ke kepolisian tanpa melalui pembicaraan di LMDH. Tidak mengapa kalau itu pencurian besar-besaran," katanya.
Menurut dia, nilai kerugian akibat pencurian yang didakwakan kepada Wito sebesar Rp600 ribu tidak sebanding dengan besar keuntungan yang diperoleh Perhutani dari hasil pengelolaan hutan.
"Untuk apa dibentuk LMDH di desa kami jika akhirnya seperti ini," ujarnya.
Kasus yang dialami Wito ini menarik perhatian tersendiri bagi Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Banyumas, Eni Marheni, yang datang ke PN Purwokerto untuk memberi dukungan moral.
"Kami prihatin karena dia masih anak-anak tapi mengapa dikenai pasal pembalakan liar. Apalagi dia hanya diajak dan tidak tahu kalau menebang pohon di hutan ada sanksinya," kata Eni.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan, pengadilan diharapkan dapat bersikap adil dan menggunakan hati nurani dalam menyidangkan kasus ini.
Meskipun tidak ditahan, Wito tetap harus bersabar dalam menjalani persidangan yang masih terus berlanjut hingga pembacaan putusan oleh hakim kelak. (http://www.antarajateng.com)
Anak di bawah umur, Wito bin Rasum (17), untuk kedua kalinya datang ke Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu (5/5), sebagai terdakwa kasus pencurian dua batang pohon pinus di hutan milik Perhutani Banyumas Timur.
Dengan wajah lesu, dia pun turun dari sepeda motor milik tukang ojek yang mengantarkannya dari rumahnya di Dusun Karangmiri RT 07 RW 07, Desa Panusupan, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.
Kedatangan Wito yang didampingi kakak tertuanya, Dartem dan pamannya, Ahmad Fathoni serta Kepala Desa Panusupan Sukur Aminudin di PN Purwokerto langsung disambut aksi unjuk rasa belasan aktivis lingkungan.
Kendati demikian, unjuk rasa tersebut bukanlah kecaman terhadap Wito yang didakwa mencuri dua batang pohon pinus, melainkan sebagai bentuk solidaritas bagi anak baru gede (ABG) tersebut.
"Ini merupakan bentuk solidaritas kami kepada Wito yang didakwa mencuri dua batang pohon pinus milik Perhutani, tetapi dikenai pasal pembalakan liar, dan dia juga masih di bawah umur. Wito bukan kriminalitas, tetapi dia dikriminalisasi," kata koordinator aksi, Bangkit Ari Sasongko.
Bahkan, Wito bersama keluarganya pun diajak ikut serta dalam aksi solidaritas tersebut.
Wito yang mengenakan kemeja warna coklat dan bercelana panjang warna hitam serta bersandal jepit warna hijau itu pun terlihat matanya berkaca-kaca.
ABG yang memiliki sifat pendiam ini seakan ingin mengatakan bahwa dirinya tidak tahu kalau perbuatannya mengambil dua batang pohon pinus di petak 17a hutan milik Perhutani Banyumas Timur itu melanggar hukum.
Dalam hal ini, Wito didakwa mencuri dua pohon pinus yang dipotong menjadi 11 bagian di petak 17a hutan Perhutani Banyumas Timur yang masuk wilayah Desa Panusupan pada 6 Maret 2010 dengan nilai kerugian korban sebesar Rp600 ribu.
Wito ditangkap pada 7 Maret 2010 bersama seorang kenalannya yang mengajak mencuri kayu tersebut, Supardi (28), saat hendak mengambil kayu yang ditebang sehari sebelumnya. Sedangkan tiga pelaku lainnya, yakni Carkim, Wasum, dan Wanto berhasil kabur saat penangkapan tersebut.
Terkait dengan kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ninik Rahma pada persidangan pertama, Rabu (28/5), mendakwa Wito sesuai Pasal 50 ayat 3 huruf e juncto Pasal 78 ayat 5 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan juncto Pasal 55 (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman hukuman 10 tahun penjara.
Sementara dalam sidang lanjutan yang bersifat tertutup pada Rabu (5/5) dengan hakim tunggal, Harto Poncono, diisi dengan dua agenda, yakni pemeriksaan saksi yang meringankan terdakwa dan pemeriksaan terdakwa.
Dalam sidang tersebut, Wito tampak didampingi seorang petugas dari PN Purwokerto.
Menurut penasihat hukum Wito, Rahardian Prasetyo, kliennya terpaksa didampingi seorang penerjemah lantaran dia tidak lancar berbahasa Indonesia.
"Sejumlah pertanyaan yang diajukan hakim kepada saksi dan terdakwa, antara lain mengenai pendidikan dan pergaulan Wito serta perekonomian keluarga," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, pihaknya mengajukan tiga saksi, yakni Ahmad Fathoni (paman Wito), Dartem (kakak tertua Wito), dan Kepala Desa Panusupan, Sukur Aminudin.
Ia mengatakan, persidangan terhadap kliennya diharapkan dapat berlangsung cepat untuk menghemat ongkos karena Wito berasal dari keluarga tak mampu.
"Kalau nantinya setelah ada pledoi atau pembelaan, JPU mengajukan replik, kami berharap bisa menyampaikan duplik secara lisan sehingga sidang dapat berlangsung cepat," katanya.
Saat ditemui seusai persidangan, Wito mengatakan, dirinya ingin dibebaskan dari dakwaan tersebut.
Anak yang hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar ini mengaku sama sekali tidak tahu kalau mengambil kayu pinus di hutan milik Perhutani merupakan sebuah pelanggaran hukum.
"Saya diajak Carkim mengambil kayu pinus di hutan untuk dijadikan kayu bakar pada Sabtu malam (6/4)," katanya dalam bahasa Jawa Banyumasan.
Akan tetapi keesokan harinya saat hendak mengambil kayu yang telah ditebang, dia bersama Supardi justru ditangkap oleh sejumlah polisi hutan dan langsung dibawa ke Kepolisian Sektor Cilongok.
"Berbagai macam pertanyaan ditujukan polisi kepada saya hingga akhirnya saya disidang di sini. Saya ingin dibebaskan dari ancaman hukuman," kata dia yang mengaku takut saat menghadapi hakim di meja hijau.
Sementara kakak Wito, Dartem mengatakan, adiknya yang hanya mengenyam pendidikan SD selama sembilan tahun ini tidak pernah berulah macam-macam.
Menurut dia, Wito yang pendiam ini jarang bergaul sehingga tak memiliki banyak teman.
"Dia lebih banyak bermain di sekitar rumah dan membantu orang tua," katanya.
Bahkan untuk hadir ke persidangan, dia mengaku tidak memiliki uang sehingga harus mencari pinjaman.
"Kami terpaksa pinjam utang sebesar Rp120 ribu untuk membayar ojek," katanya.
Pernyataan Dartem ini dibenarkan Kades Panusupan, Sukur Aminudin, bahwa Wito tidak pernah berbuat kriminal meskipun dia berasal dari keluarga tak mampu.
Menurut dia, ayah Wito, Rasum (55), hanya bekerja sebagai buruh cangkul dengan penghasilan Rp20 ribu per hari.
"Itu pun kalau ada yang memintanya mencangkul, kalau tak ada ya bekerja apa adanya. Sementara ibunya, Lasem (45) hanya sebagai ibu rumah tangga," katanya.
Terkait dengan kasus tersebut, dia mengaku sangat kecewa terhadap Perhutani yang seolah lepas tangan dan menyerahkannya kepada kepolisian tanpa adanya pembicaraan melalui Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Desa Panusupan.
Padahal, pada awal pembentukan LMDH, kata dia, Perhutani menyatakan segala permasalahan yang berkaitan dengan hutan termasuk pencurian kayu kecil-kecilan dapat diselesaikan melalui lembaga ini.
"Akan tetapi Wito langsung dibawa ke kepolisian tanpa melalui pembicaraan di LMDH. Tidak mengapa kalau itu pencurian besar-besaran," katanya.
Menurut dia, nilai kerugian akibat pencurian yang didakwakan kepada Wito sebesar Rp600 ribu tidak sebanding dengan besar keuntungan yang diperoleh Perhutani dari hasil pengelolaan hutan.
"Untuk apa dibentuk LMDH di desa kami jika akhirnya seperti ini," ujarnya.
Kasus yang dialami Wito ini menarik perhatian tersendiri bagi Anggota Komisi A DPRD Kabupaten Banyumas, Eni Marheni, yang datang ke PN Purwokerto untuk memberi dukungan moral.
"Kami prihatin karena dia masih anak-anak tapi mengapa dikenai pasal pembalakan liar. Apalagi dia hanya diajak dan tidak tahu kalau menebang pohon di hutan ada sanksinya," kata Eni.
Terkait dengan hal itu, dia mengatakan, pengadilan diharapkan dapat bersikap adil dan menggunakan hati nurani dalam menyidangkan kasus ini.
Meskipun tidak ditahan, Wito tetap harus bersabar dalam menjalani persidangan yang masih terus berlanjut hingga pembacaan putusan oleh hakim kelak. (http://www.antarajateng.com)
Anak-anak Rambut Gimbal di Lereng Dieng
Selasa, 13 Jul 2010 12:07:12 WIB | Oleh : Sumarwoto/Mahmudah
ANTARA - Janganlah heran jika saat berwisata ke Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, anda berjumpa dengan anak-anak kecil yang berambut gimbal atau oleh penduduk setempat disebut rambut "gembel".
Jangan mencela anak berambut gimbal itu, karena celaan itu akan menyakiti perasaan orang tuanya.
Rambut gimbal atau gembel yang dimiliki anak-anak Dataran Tinggi Dieng itu bukan lantaran rambut mereka tak diurus, tapi tumbuh dengan sendirinya.
Bahkan pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono (60) meyakini anak-anak berambut gembel ini adalah anak bajang titipan Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan).
"Anak berambut gembel berjenis kelamin laki-laki merupakan titisan Eyang Agung Kala Dete, sedangkan yang perempuan titisan Nini Ronce Kala Prenye. Mereka adalah titipan anak bajang dari Ratu Samudera Kidul," katanya.
Gimbal pada rambut anak-anak Dieng berbeda dengan rambut gembelnya almarhum Mbah Surip. Rambut gimbal Mbah Surip dibentuk dengan sengaja, melalui proses pengepangan, sedangkan rambut gimbal anak-anak Dieng tumbuh dengan sendirinya.
Selain di Dataran Tinggi Dieng lereng Gunung Prahu, anak-anak berambut gembel juga dapat dijumpai di lereng Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan Gunung Rogojembangan.
Menurut dia, rambut gembel pada anak-anak ini tidak tumbuh dengan sendirinya karena bisanya diawali dengan sakit lebih dulu.
"Jadi setiap gembelnya akan tumbuh, anak-anak itu lebih dulu sakit. Namun setelah gembelnya tumbuh semua, mereka tidak akan sakit-sakitan lagi," katanya.
Setelah gembelnya tumbuh, kata dia, rambut anak-anak tersebut tidak pernah disisir karena hal itu justru akan membuatnya sakit.
Saat ditanya mengenai jenis-jenis rambut gembel, dia mengaku tidak mengetahuinya secara pasti.
Informasi yang dihimpun ANTARA dari sejumlah masyarakat setempat, rambut gembel ini terdiri empat jenis, yakni gembel pari (gembel padi yang memiliki ukuran paling kecil seperti padi), gembel jagung (seperti rambut jagung), gembel jatah (gembelnya hanya beberapa helai), dan gembel wedus atau kambing (gembel yang ukurannya paling besar).
Konon, gembel pari jarang ada yang memilikinya sedangkan jenis gembel lainnya banyak dijumpai di Dataran Tinggi Dieng.
Terkait upaya menghilangkan rambut gembel ini, Mbah Naryono mengatakan, hal itu dapat dilakukan dengan cara ruwatan, yakni ritual memotong rambut tersebut.
"Kalau dipotong sendiri tanpa melalui acara ruwatan, sang anak akan sakit dan rambut gembelnya akan kembali tumbuh, sehingga harus melalui acara ruwatan," katanya.
Menurut dia, anak-anak tersebut diyakini tidak akan berambut gembel lagi setelah menjalani ruwatan. "Saya dulunya juga berambut gembel tetapi sekarang tidak lagi," ujarnya.
Ia mengatakan, acara ruwatan rambut gembel dapat dilakukan kapan saja sesuai kemampuan orang tua karena biayanya tidak sedikit dan hal itu atas permintaan sang anak.
Jika anaknya belum berkehendak, kata dia, orang tua tidak bisa memaksanya meskipun orang tua memiliki dana untuk menggelar ruwatan tersebut.
"Dana untuk ruwatan memang tidak sedikit karena orang tua harus menuruti apapun permintaan sang anak yang akan diruwat," katanya.
Selain itu, kata dia, berbagai sesaji juga harus disiapkan, antara lain nasi tumpeng tujuh warna, jajan pasar, buah-buahan, dan ingkung ayam.
Oleh karena itu, dia mengaku menyambut baik acara ruwatan rambut gembel secara massal pada Minggu (11/7) dalam rangkaian kegiatan "Dieng Culture Festival (DCF) 2010" 10-11 Juli 2010, yang diselenggarakan oleh Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, sehingga dapat meringankan beban para orang tua anak berambut gembel yang akan diruwat.
Sementara itu, Ketua Panitia DCF 2010 Alif Faozi mengatakan, seluruh permintaan anak-anak berambut gembel itu ditanggung panitia.
Kendati demikian, dia mengatakan, ada seorang anak berambut gimbal yang batal mengikuti ruwatan ini karena panitia tak sanggup memenuhinya.
"Anak itu minta seekor sapi," katanya.
Dalam acara ruwatan massal pada Minggu (11/7) ini diikuti oleh delapan anak berambut gembel.
Berbagai barang maupun binatang yang diminta anak-anak berambut gimbal inipun dibawa serta dalam ruwatan tersebut, antara lain 100 butir telur ayam, lima ekor marmut, sepasang ayam, seekor kambing, dan 100 kepala ayam.
Seorang anak perempuan peserta ruwat massal asal Garung, Kabupaten Wonosobo, Tuwarni (5) mengatakan, meminta kepala ayam sebanyak 100 buah.
"Cucuk ayam 100 (kepala ayam sebanyak 100 buah, red.)," katanya saat ditanya wartawan.
Mengenai kemunculan rambut gimbal pada diri anaknya, ayah Tuwarni, Mujiyono (35) mengatakan, hal itu diketahui sejak anaknya berusia satu tahun.
"Saat itu Tuwarni berusia setahun dan sering sakit-sakitan hingga akhirnya muncul rambut gembel. Sekarang Tuwarni tidak lagi sakit-sakitan setelah gembelnya tumbuh," kata dia yang kesulitan berbahasa Indonesia.
Peserta ruwatan lainnya yang berasal dari Bitingan, Kabupaten Banjarnegara, Ahmad Rizal Luthfi (3,5) meminta sepasang ayam kampung.
Kemunculan rambut gembel pada diri Rizal juga memiliki kesamaan dengan yang dialami Tuwarni, yakni diawali dengan sakit-sakitan lebih dulu.
"Saat usia satu tahun, Rizal sering sakit-sakitan hingga akhirnya muncul rambut gembel di kepalanya," kata ibunda Rizal, Suparti (40).
Ia mengaku sempat beberapa kali menyisir rambut gembel Rizal. Akan tetapi setiap kali disisir, Rizal langsung jatuh sakit sehingga ibunya tak lagi menyisir rambut anaknya.
Kendati di Dataran Tinggi Dieng banyak dijumpai anak-anak berambut gembel, tidak semuanya mengikuti ruwatan karena mereka belum menginginkan rambutnya dipotong.
Konon, keinginan untuk mengikuti ruwatan ini merupakan permintaan dari roh halus yang mendamping sang anak berambut gembel tersebut.
Seorang anak berambut gembel asal Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Muhammad Alfarizi Masaid (8) mengaku belum bersedia diruwat.
Selain itu, ayah Rizi (panggilan akrab Muhammad Alfarizi Masaid, red.), Ahmad Said (32) mengaku belum sanggup menggelar ruwatan bagi anaknya karena permintaan Rizi sangat berat.
Menurut dia, Rizi minta ditanggapkan pergelaran Reog Ponorogo dan Barongsai.
"Kami belum sanggup untuk itu karena biayanya tentu sangat mahal," katanya.
Mengenai pengalaman yang pernah dijumpai, ibunda Rizi, Sri Rejeki (29) mengaku pernah berjumpa dengan seseorang yang mencela anaknya yang berambut gimbal pari.
"Pernah ada orang yang tanya, 'bu, anaknya tak pernah dimandikan ya?' Saat mendengar itu, perasaan saya sangat sedih," katanya.
Prosesi Ruwatan
Prosesi ruwatan ini diawali dengan kirab budaya yang diberangkatkan dari rumah pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono, untuk mengiringi para bocah berambut gembel menuju tempat peruwatan di Kompleks Candi Arjuna.
Kirab tersebut diikuti sejumlah kesenian khas Dataran Tinggi Dieng, antara lain Tari Rampyak Pringgondani, Grup Warok Tradisional Jenggot Lestari, dan Tari Topeng Sri Widodo.
Selain itu, dalam kirab tersebut juga terdapat pasukan pembawa sesaji, antara lain tumpeng tujuh warna, jajan pasar, buah-buahan, dan "ingkung", sejenis ayam rebus, termasuk sejumlah ternak dan barang-barang yang diminta anak-anak berambut gembel ini.
Sementara delapan anak berambut gimbal atau disebut "pengantin" yang akan diruwat, bersama orang tuanya dibawa menuju tempat ruwatan dengan menaiki dua delman.
Sesampainya di Pendopo Suharto Whitlam, peserta kirab kesenian ini berpencar ke tiga lokasi berbeda.
Dalam hal ini rombongan kesenian berbelok ke panggung hiburan, pembawa sesaji menuju Kompleks Candi Arjuna, sedangkan delapan anak berambut gimbal digendong orang tuanya menuju Sendang Maerakaca di Kompleks Sendang Sedayu.
Selanjutnya, kedelapan anak yang mengenakan ikat kepala dan berselendang kain mori ini, satu persatu dimandikan di Sendang Maerakaca oleh Mbah Naryono.
Prosesi pemandian atau "siram jamas" ini ditujukan untuk membersihkan jiwa dan raga para anak berambut gembel tersebut sebelum menjalani ruwatan.
Usai ritual pemandian, prosesi dilanjutkan dengan ruwatan pemotongan rambut gembel di Kompleks Candi Arjuna.
Kendati ruwatan ini dipimpin oleh Mbah Naryono, dalam pelaksanaan pemotongan rambut gembel tersebut dilakukan oleh sejumlah pejabat Kabupaten Banjarnegara maupun Provinsi Jawa Tengah secara bergantian.
Satu per satu anak berambut gembel dibawa menuju depan Candi Arjuna untuk menjalani ritual pemotongan rambut oleh pejabat yang ditunjuk, sedangkan Mbah Naryono tampak duduk bersila sembari membaca mantra di depan anak-anak berambut gembel yang menunggu giliran pemotongan rambut.
Usai prosesi ruwatan, potongan rambut gembel tersebut selanjutnya akan dilarung ke Kali Tulis dan Telaga Warna yang bermuara di laut selatan Jawa Tengah. (http://www.antarajateng.com)
ANTARA - Janganlah heran jika saat berwisata ke Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah, anda berjumpa dengan anak-anak kecil yang berambut gimbal atau oleh penduduk setempat disebut rambut "gembel".
Jangan mencela anak berambut gimbal itu, karena celaan itu akan menyakiti perasaan orang tuanya.
Rambut gimbal atau gembel yang dimiliki anak-anak Dataran Tinggi Dieng itu bukan lantaran rambut mereka tak diurus, tapi tumbuh dengan sendirinya.
Bahkan pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono (60) meyakini anak-anak berambut gembel ini adalah anak bajang titipan Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan).
"Anak berambut gembel berjenis kelamin laki-laki merupakan titisan Eyang Agung Kala Dete, sedangkan yang perempuan titisan Nini Ronce Kala Prenye. Mereka adalah titipan anak bajang dari Ratu Samudera Kidul," katanya.
Gimbal pada rambut anak-anak Dieng berbeda dengan rambut gembelnya almarhum Mbah Surip. Rambut gimbal Mbah Surip dibentuk dengan sengaja, melalui proses pengepangan, sedangkan rambut gimbal anak-anak Dieng tumbuh dengan sendirinya.
Selain di Dataran Tinggi Dieng lereng Gunung Prahu, anak-anak berambut gembel juga dapat dijumpai di lereng Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, dan Gunung Rogojembangan.
Menurut dia, rambut gembel pada anak-anak ini tidak tumbuh dengan sendirinya karena bisanya diawali dengan sakit lebih dulu.
"Jadi setiap gembelnya akan tumbuh, anak-anak itu lebih dulu sakit. Namun setelah gembelnya tumbuh semua, mereka tidak akan sakit-sakitan lagi," katanya.
Setelah gembelnya tumbuh, kata dia, rambut anak-anak tersebut tidak pernah disisir karena hal itu justru akan membuatnya sakit.
Saat ditanya mengenai jenis-jenis rambut gembel, dia mengaku tidak mengetahuinya secara pasti.
Informasi yang dihimpun ANTARA dari sejumlah masyarakat setempat, rambut gembel ini terdiri empat jenis, yakni gembel pari (gembel padi yang memiliki ukuran paling kecil seperti padi), gembel jagung (seperti rambut jagung), gembel jatah (gembelnya hanya beberapa helai), dan gembel wedus atau kambing (gembel yang ukurannya paling besar).
Konon, gembel pari jarang ada yang memilikinya sedangkan jenis gembel lainnya banyak dijumpai di Dataran Tinggi Dieng.
Terkait upaya menghilangkan rambut gembel ini, Mbah Naryono mengatakan, hal itu dapat dilakukan dengan cara ruwatan, yakni ritual memotong rambut tersebut.
"Kalau dipotong sendiri tanpa melalui acara ruwatan, sang anak akan sakit dan rambut gembelnya akan kembali tumbuh, sehingga harus melalui acara ruwatan," katanya.
Menurut dia, anak-anak tersebut diyakini tidak akan berambut gembel lagi setelah menjalani ruwatan. "Saya dulunya juga berambut gembel tetapi sekarang tidak lagi," ujarnya.
Ia mengatakan, acara ruwatan rambut gembel dapat dilakukan kapan saja sesuai kemampuan orang tua karena biayanya tidak sedikit dan hal itu atas permintaan sang anak.
Jika anaknya belum berkehendak, kata dia, orang tua tidak bisa memaksanya meskipun orang tua memiliki dana untuk menggelar ruwatan tersebut.
"Dana untuk ruwatan memang tidak sedikit karena orang tua harus menuruti apapun permintaan sang anak yang akan diruwat," katanya.
Selain itu, kata dia, berbagai sesaji juga harus disiapkan, antara lain nasi tumpeng tujuh warna, jajan pasar, buah-buahan, dan ingkung ayam.
Oleh karena itu, dia mengaku menyambut baik acara ruwatan rambut gembel secara massal pada Minggu (11/7) dalam rangkaian kegiatan "Dieng Culture Festival (DCF) 2010" 10-11 Juli 2010, yang diselenggarakan oleh Kelompok Sadar Wisata Dieng Pandawa, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, sehingga dapat meringankan beban para orang tua anak berambut gembel yang akan diruwat.
Sementara itu, Ketua Panitia DCF 2010 Alif Faozi mengatakan, seluruh permintaan anak-anak berambut gembel itu ditanggung panitia.
Kendati demikian, dia mengatakan, ada seorang anak berambut gimbal yang batal mengikuti ruwatan ini karena panitia tak sanggup memenuhinya.
"Anak itu minta seekor sapi," katanya.
Dalam acara ruwatan massal pada Minggu (11/7) ini diikuti oleh delapan anak berambut gembel.
Berbagai barang maupun binatang yang diminta anak-anak berambut gimbal inipun dibawa serta dalam ruwatan tersebut, antara lain 100 butir telur ayam, lima ekor marmut, sepasang ayam, seekor kambing, dan 100 kepala ayam.
Seorang anak perempuan peserta ruwat massal asal Garung, Kabupaten Wonosobo, Tuwarni (5) mengatakan, meminta kepala ayam sebanyak 100 buah.
"Cucuk ayam 100 (kepala ayam sebanyak 100 buah, red.)," katanya saat ditanya wartawan.
Mengenai kemunculan rambut gimbal pada diri anaknya, ayah Tuwarni, Mujiyono (35) mengatakan, hal itu diketahui sejak anaknya berusia satu tahun.
"Saat itu Tuwarni berusia setahun dan sering sakit-sakitan hingga akhirnya muncul rambut gembel. Sekarang Tuwarni tidak lagi sakit-sakitan setelah gembelnya tumbuh," kata dia yang kesulitan berbahasa Indonesia.
Peserta ruwatan lainnya yang berasal dari Bitingan, Kabupaten Banjarnegara, Ahmad Rizal Luthfi (3,5) meminta sepasang ayam kampung.
Kemunculan rambut gembel pada diri Rizal juga memiliki kesamaan dengan yang dialami Tuwarni, yakni diawali dengan sakit-sakitan lebih dulu.
"Saat usia satu tahun, Rizal sering sakit-sakitan hingga akhirnya muncul rambut gembel di kepalanya," kata ibunda Rizal, Suparti (40).
Ia mengaku sempat beberapa kali menyisir rambut gembel Rizal. Akan tetapi setiap kali disisir, Rizal langsung jatuh sakit sehingga ibunya tak lagi menyisir rambut anaknya.
Kendati di Dataran Tinggi Dieng banyak dijumpai anak-anak berambut gembel, tidak semuanya mengikuti ruwatan karena mereka belum menginginkan rambutnya dipotong.
Konon, keinginan untuk mengikuti ruwatan ini merupakan permintaan dari roh halus yang mendamping sang anak berambut gembel tersebut.
Seorang anak berambut gembel asal Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Muhammad Alfarizi Masaid (8) mengaku belum bersedia diruwat.
Selain itu, ayah Rizi (panggilan akrab Muhammad Alfarizi Masaid, red.), Ahmad Said (32) mengaku belum sanggup menggelar ruwatan bagi anaknya karena permintaan Rizi sangat berat.
Menurut dia, Rizi minta ditanggapkan pergelaran Reog Ponorogo dan Barongsai.
"Kami belum sanggup untuk itu karena biayanya tentu sangat mahal," katanya.
Mengenai pengalaman yang pernah dijumpai, ibunda Rizi, Sri Rejeki (29) mengaku pernah berjumpa dengan seseorang yang mencela anaknya yang berambut gimbal pari.
"Pernah ada orang yang tanya, 'bu, anaknya tak pernah dimandikan ya?' Saat mendengar itu, perasaan saya sangat sedih," katanya.
Prosesi Ruwatan
Prosesi ruwatan ini diawali dengan kirab budaya yang diberangkatkan dari rumah pemangku adat masyarakat Dieng, Mbah Naryono, untuk mengiringi para bocah berambut gembel menuju tempat peruwatan di Kompleks Candi Arjuna.
Kirab tersebut diikuti sejumlah kesenian khas Dataran Tinggi Dieng, antara lain Tari Rampyak Pringgondani, Grup Warok Tradisional Jenggot Lestari, dan Tari Topeng Sri Widodo.
Selain itu, dalam kirab tersebut juga terdapat pasukan pembawa sesaji, antara lain tumpeng tujuh warna, jajan pasar, buah-buahan, dan "ingkung", sejenis ayam rebus, termasuk sejumlah ternak dan barang-barang yang diminta anak-anak berambut gembel ini.
Sementara delapan anak berambut gimbal atau disebut "pengantin" yang akan diruwat, bersama orang tuanya dibawa menuju tempat ruwatan dengan menaiki dua delman.
Sesampainya di Pendopo Suharto Whitlam, peserta kirab kesenian ini berpencar ke tiga lokasi berbeda.
Dalam hal ini rombongan kesenian berbelok ke panggung hiburan, pembawa sesaji menuju Kompleks Candi Arjuna, sedangkan delapan anak berambut gimbal digendong orang tuanya menuju Sendang Maerakaca di Kompleks Sendang Sedayu.
Selanjutnya, kedelapan anak yang mengenakan ikat kepala dan berselendang kain mori ini, satu persatu dimandikan di Sendang Maerakaca oleh Mbah Naryono.
Prosesi pemandian atau "siram jamas" ini ditujukan untuk membersihkan jiwa dan raga para anak berambut gembel tersebut sebelum menjalani ruwatan.
Usai ritual pemandian, prosesi dilanjutkan dengan ruwatan pemotongan rambut gembel di Kompleks Candi Arjuna.
Kendati ruwatan ini dipimpin oleh Mbah Naryono, dalam pelaksanaan pemotongan rambut gembel tersebut dilakukan oleh sejumlah pejabat Kabupaten Banjarnegara maupun Provinsi Jawa Tengah secara bergantian.
Satu per satu anak berambut gembel dibawa menuju depan Candi Arjuna untuk menjalani ritual pemotongan rambut oleh pejabat yang ditunjuk, sedangkan Mbah Naryono tampak duduk bersila sembari membaca mantra di depan anak-anak berambut gembel yang menunggu giliran pemotongan rambut.
Usai prosesi ruwatan, potongan rambut gembel tersebut selanjutnya akan dilarung ke Kali Tulis dan Telaga Warna yang bermuara di laut selatan Jawa Tengah. (http://www.antarajateng.com)
"Pesantren Liburan" Kegiatan Alternatif Mengisi Libur Sekolah
Sabtu, 19 Jun 2010 15:53:32 WIB | Oleh : Sumarwoto/
"Libur telah tiba, libur telah tiba, hore, hore, hore. Simpanlah tas dan bukumu, lupakan keluh kesahmu. Libur telah tiba, libur telah tiba, hatiku gembira!"
Kutipan lagu berjudul "Libur Telah Tiba" yang dinyanyikan oleh Shafa Tasya Kamila atau Tasya ini merupakan gambaran kegembiraan anak-anak untuk menyambut datangnya liburan sekolah.
Berbagai perencanaan pun telah disiapkan oleh anak-anak sebagai kegiatan untuk mengisi liburan sekolah yang akan dimulai 21 Juni 2010.
Tak jarang mereka berencana mengisi liburan tersebut dengan berwisata atau mengunjungi saudaranya.
Akan tetapi, ada juga anak-anak yang merencanakan mengisi liburan mereka dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh sekolah maupun lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan.
Seperti halnya yang dilakukan kebanyakan anak-anak, seorang pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Purwokerto, Muis Arrazak (15) juga telah merencanakan kegiatan untuk mengisi liburan sekolahnya.
Ia yang baru naik kelas XI ini, berencana untuk mengikuti kegiatan "Pesantren Liburan" yang digelar Rumah Soleh Purwokerto.
"Saya ingin lebih mendalami ajaran agama Islam dengan mengikuti kegiatan tersebut," katanya di Purwokerto, Sabtu.
Ia mengaku mengetahui adanya kegiatan "Pesantren Liburan" ini dari guru mengajinya, Ustad Arif.
Menurut dia, sang ustad menceritakan dalam kegiatan tersebut akan diajarkan juga kiat-kiat untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat.
"Saya sangat tertarik untuk mengikutinya. Saya merasa kebutuhan akhirat saya masih sangat kurang sehingga ingin lebih mendalami ajaran agama Islam," katanya.
Ia mengaku pernah berencana mengikuti kegiatan serupa di sebuah pondok pesantren di Banyumas pada liburan sekolah tahun 2009.
Namun hingga waktu pelaksanaan kegiatan tiba, ternyata kegiatan tersebut batal dilaksanakan karena jumlah pesertanya tidak memenuhi kuota.
Ia mengharapkan, keinginannya untuk lebih mendalami ajaran agama Islam melalui kegiatan "Pesantren Liburan" dapat terlaksana pada liburan sekolah kali ini.
Kendati belum membicarakan rencana tersebut dengan kedua orang tuanya, dia optimistis akan diizinkan mengikuti kegiatan "Pesantren Liburan" ini.
"Saya optimistis, orang tua akan mengizinkan saya mengikuti kegiatan ini karena saat liburan tahun lalu, mereka sangat mendukung," katanya.
Siswa SMA Negeri 1 Purwokerto lainnya, Abdusyakur (16) juga menyatakan keinginannya untuk mengikuti kegiatan "Pesantren Liburan" yang diselenggarakan oleh Rumah Soleh Purwokerto.
Menurut dia, kegiatan tersebut merupakan kegiatan positif untuk mengisi liburan sekolah.
"Daripada liburan diisi dengan kegiatan yang tidak jelas, lebih baik mengikuti 'Pesantren Liburan' untuk memperdalam ajaran Islam dalam diri saya," katanya.
Ia mengatakan, keikutsertaannya dalam "Pesantren Liburan" ini baru sekadar rencana karena belum dibicarakan dengan kedua orang tuanya.
"Saya memang belum meminta izin kepada orang tua. Namun saya harus meminta izin dulu karena ridho Allah tergantung dari keridhoan orang tua," katanya.
Terkait "Pesantren Liburan" ini, Koordinator Humas Rumah Soleh Purwokerto Saefullah mengatakan, pihaknya baru pertama kali menggelar kegiatan ini di Purwokerto.
Menurut dia, Rumah Soleh mengawali kegiatan tersebut di Banjarnegara, Jawa Tengah, sejak tiga tahun lalu dan telah mendapat sambutan positif dari masyarakat setempat.
Dalam hal ini, kata dia, para peserta yang pernah mengikuti kegiatan tersebut menceritakannya kepada rekan dan saudara mereka sehingga akhirnya kegiatannya tidak sebatas pada "Pesantren Liburan" tetapi juga pemberdayaan anak jalanan.
"Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan kami terhadap bangsa ini yang merupakan negara muslim terbesar tetapi sumber daya manusia khususnya pemuda-pemuda Islam-nya masih sedikit yang memahami Islam," katanya.
Menurut dia, banyak sekolah-sekolah Islam yang tidak menghasilkan lulusan yang memiliki kekokohan keimanan, yakni Islam hanya dijadikan pengetahuan sama seperti pelajaran-pelajaran lain sehingga tidak tertanam pada pribadi-pribadi mereka sebagai seorang muslim.
Selain itu, kata dia, kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan nasional "Gerakan Mentoring Indonesia" yang telah dilaksanakan di hampir semua perguruan tinggi besar dan selanjutnya akan dilakukan di SMA-SMA.
"Makanya di liburan sekolah ini, kami menyelenggarakan Pesantren Liburan selama empat hari untuk melatih kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) dengan biaya murah yang dikemas sesuai jiwa generasi muda, antara lain melalui kegiatan 'outbound'," katanya.
Dalam kegiatan tersebut, kata dia, akan diisi materi tentang keislaman, antara lain peningkatan keyakinan dan percaya kepada Allah serta meningkatkan kebersamaan atau kerja sama tim.
"Kami juga akan mengenalkan tentang bagaimana kehidupan Nabi Muhammad, termasuk bagaimana cara makan yang dilakukan Rasulullah," jelasnya.
Meskipun Pesantren Liburan ini hanya diselenggarakan selama empat hari, lanjutnya, hal itu tidak menjadi persoalan karena akan dilanjutkan dengan "mentoring" atau pembinaan di sekolah masing-masing seminggu sekali melalui kegiatan dakwah.
Menurut dia, kegiatan Pesantren Liburan gelombang pertama yang akan dimulai pada tanggal 24 Juni 2010, diikuti sejumlah siswa dari SMA Negeri 1 Purwokerto dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Purwokerto.
"Kami akan meminjam gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Purwokerto dan SMP Putra Harapan Purwokerto sebagai lokasi kegiatan," katanya.
Mengenai infak (biaya, red.) untuk kegiatan tersebut, dia mengatakan, setiap peserta hanya dipungut Rp30 ribu untuk kegiatan selama empat hari.
"Infak tersebut di luar biaya makan. Untuk biaya makan nantinya akan dikoordinasikan oleh para peserta saat kegiatan," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas Purwadi Santoso menyambut baik adanya kegiatan yang bersifat edukatif untuk mengisi liburan sekolah.
"Itu tidak masalah, malahan bagus untuk mengisi liburan sekolah dengan kegiatan positif," ujarnya.
Tentang kemungkinan adanya sekolah yang menggelar kegiatan edukatif untuk mengisi liburan, dia mengatakan, hingga saat ini belum terpantau.
Menurut dia, kegiatan tersebut tak bersifat resmi dan biasanya dilakukan oleh para siswa.
Kendati demikian, dia mengatakan, Dinas Pendidikan mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat edukatif dapat diselenggarakan untuk mengisi liburan sekolah. (http://www.antarajateng.com)
"Libur telah tiba, libur telah tiba, hore, hore, hore. Simpanlah tas dan bukumu, lupakan keluh kesahmu. Libur telah tiba, libur telah tiba, hatiku gembira!"
Kutipan lagu berjudul "Libur Telah Tiba" yang dinyanyikan oleh Shafa Tasya Kamila atau Tasya ini merupakan gambaran kegembiraan anak-anak untuk menyambut datangnya liburan sekolah.
Berbagai perencanaan pun telah disiapkan oleh anak-anak sebagai kegiatan untuk mengisi liburan sekolah yang akan dimulai 21 Juni 2010.
Tak jarang mereka berencana mengisi liburan tersebut dengan berwisata atau mengunjungi saudaranya.
Akan tetapi, ada juga anak-anak yang merencanakan mengisi liburan mereka dengan mengikuti kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh sekolah maupun lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan.
Seperti halnya yang dilakukan kebanyakan anak-anak, seorang pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Purwokerto, Muis Arrazak (15) juga telah merencanakan kegiatan untuk mengisi liburan sekolahnya.
Ia yang baru naik kelas XI ini, berencana untuk mengikuti kegiatan "Pesantren Liburan" yang digelar Rumah Soleh Purwokerto.
"Saya ingin lebih mendalami ajaran agama Islam dengan mengikuti kegiatan tersebut," katanya di Purwokerto, Sabtu.
Ia mengaku mengetahui adanya kegiatan "Pesantren Liburan" ini dari guru mengajinya, Ustad Arif.
Menurut dia, sang ustad menceritakan dalam kegiatan tersebut akan diajarkan juga kiat-kiat untuk mencapai kesuksesan dunia dan akhirat.
"Saya sangat tertarik untuk mengikutinya. Saya merasa kebutuhan akhirat saya masih sangat kurang sehingga ingin lebih mendalami ajaran agama Islam," katanya.
Ia mengaku pernah berencana mengikuti kegiatan serupa di sebuah pondok pesantren di Banyumas pada liburan sekolah tahun 2009.
Namun hingga waktu pelaksanaan kegiatan tiba, ternyata kegiatan tersebut batal dilaksanakan karena jumlah pesertanya tidak memenuhi kuota.
Ia mengharapkan, keinginannya untuk lebih mendalami ajaran agama Islam melalui kegiatan "Pesantren Liburan" dapat terlaksana pada liburan sekolah kali ini.
Kendati belum membicarakan rencana tersebut dengan kedua orang tuanya, dia optimistis akan diizinkan mengikuti kegiatan "Pesantren Liburan" ini.
"Saya optimistis, orang tua akan mengizinkan saya mengikuti kegiatan ini karena saat liburan tahun lalu, mereka sangat mendukung," katanya.
Siswa SMA Negeri 1 Purwokerto lainnya, Abdusyakur (16) juga menyatakan keinginannya untuk mengikuti kegiatan "Pesantren Liburan" yang diselenggarakan oleh Rumah Soleh Purwokerto.
Menurut dia, kegiatan tersebut merupakan kegiatan positif untuk mengisi liburan sekolah.
"Daripada liburan diisi dengan kegiatan yang tidak jelas, lebih baik mengikuti 'Pesantren Liburan' untuk memperdalam ajaran Islam dalam diri saya," katanya.
Ia mengatakan, keikutsertaannya dalam "Pesantren Liburan" ini baru sekadar rencana karena belum dibicarakan dengan kedua orang tuanya.
"Saya memang belum meminta izin kepada orang tua. Namun saya harus meminta izin dulu karena ridho Allah tergantung dari keridhoan orang tua," katanya.
Terkait "Pesantren Liburan" ini, Koordinator Humas Rumah Soleh Purwokerto Saefullah mengatakan, pihaknya baru pertama kali menggelar kegiatan ini di Purwokerto.
Menurut dia, Rumah Soleh mengawali kegiatan tersebut di Banjarnegara, Jawa Tengah, sejak tiga tahun lalu dan telah mendapat sambutan positif dari masyarakat setempat.
Dalam hal ini, kata dia, para peserta yang pernah mengikuti kegiatan tersebut menceritakannya kepada rekan dan saudara mereka sehingga akhirnya kegiatannya tidak sebatas pada "Pesantren Liburan" tetapi juga pemberdayaan anak jalanan.
"Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan kami terhadap bangsa ini yang merupakan negara muslim terbesar tetapi sumber daya manusia khususnya pemuda-pemuda Islam-nya masih sedikit yang memahami Islam," katanya.
Menurut dia, banyak sekolah-sekolah Islam yang tidak menghasilkan lulusan yang memiliki kekokohan keimanan, yakni Islam hanya dijadikan pengetahuan sama seperti pelajaran-pelajaran lain sehingga tidak tertanam pada pribadi-pribadi mereka sebagai seorang muslim.
Selain itu, kata dia, kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan nasional "Gerakan Mentoring Indonesia" yang telah dilaksanakan di hampir semua perguruan tinggi besar dan selanjutnya akan dilakukan di SMA-SMA.
"Makanya di liburan sekolah ini, kami menyelenggarakan Pesantren Liburan selama empat hari untuk melatih kecerdasan emosi dan spiritual (ESQ) dengan biaya murah yang dikemas sesuai jiwa generasi muda, antara lain melalui kegiatan 'outbound'," katanya.
Dalam kegiatan tersebut, kata dia, akan diisi materi tentang keislaman, antara lain peningkatan keyakinan dan percaya kepada Allah serta meningkatkan kebersamaan atau kerja sama tim.
"Kami juga akan mengenalkan tentang bagaimana kehidupan Nabi Muhammad, termasuk bagaimana cara makan yang dilakukan Rasulullah," jelasnya.
Meskipun Pesantren Liburan ini hanya diselenggarakan selama empat hari, lanjutnya, hal itu tidak menjadi persoalan karena akan dilanjutkan dengan "mentoring" atau pembinaan di sekolah masing-masing seminggu sekali melalui kegiatan dakwah.
Menurut dia, kegiatan Pesantren Liburan gelombang pertama yang akan dimulai pada tanggal 24 Juni 2010, diikuti sejumlah siswa dari SMA Negeri 1 Purwokerto dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 1 Purwokerto.
"Kami akan meminjam gedung Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Purwokerto dan SMP Putra Harapan Purwokerto sebagai lokasi kegiatan," katanya.
Mengenai infak (biaya, red.) untuk kegiatan tersebut, dia mengatakan, setiap peserta hanya dipungut Rp30 ribu untuk kegiatan selama empat hari.
"Infak tersebut di luar biaya makan. Untuk biaya makan nantinya akan dikoordinasikan oleh para peserta saat kegiatan," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas Purwadi Santoso menyambut baik adanya kegiatan yang bersifat edukatif untuk mengisi liburan sekolah.
"Itu tidak masalah, malahan bagus untuk mengisi liburan sekolah dengan kegiatan positif," ujarnya.
Tentang kemungkinan adanya sekolah yang menggelar kegiatan edukatif untuk mengisi liburan, dia mengatakan, hingga saat ini belum terpantau.
Menurut dia, kegiatan tersebut tak bersifat resmi dan biasanya dilakukan oleh para siswa.
Kendati demikian, dia mengatakan, Dinas Pendidikan mendorong kegiatan-kegiatan yang bersifat edukatif dapat diselenggarakan untuk mengisi liburan sekolah. (http://www.antarajateng.com)
Serang, Desa Wisata Lereng Gunung Slamet
Minggu, 21 Nov 2010 23:23:14 WIB | Oleh : Sumarwoto
Keindahan dan kesejukan alam Desa Serang, Kecamatan Karangreja, merupakan salah satu aset wisata andalan Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Kerukunan warga yang terpancarkan melalui kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan setiap Minggu pagi semakin menambah keasrian desa yang berada di lereng Gunung Slamet sebelah timur ini.
Hal itulah yang mendorong Bupati Purbalingga, Triyono Budi Sasongko menjelang akhir masa jabatannya mencanangkan Desa Serang sebagai salah satu desa wisata andalan Kabupaten Purbalingga.
Cita-cita menjadikan Desa Serang yang berada pada ketinggian 1.100-1.600 meter di atas permukaan laut ini sebagai desa wisata bukanlah sekadar mimpi.
Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, berupaya mewujudkannya dengan menawarkan pesona wisata Desa Serang.
"Wisata Desa Serang cukup lengkap. Di sini banyak keindahan alam yang khas dengan tanaman buah stroberi dan sayuran serta kesenian lokal berupa Gumbeng Bambu Alas," kata Kepala Disbuparpora Purbalingga, Suyitno.
Dengan demikian, kata dia, Desa Serang cukup layak untuk dikembangkan sebagai sebuah desa wisata karena memiliki kesejukan alam yang diharapkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Selain agrowisata stroberi, lanjutnya, di Desa Serang akan dilengkapi dengan fasilitas wisata pendidikan.
"Anak didik kita diajak berwisata ke Desa Serang. Di samping untuk menikmati kesejukan alam, mereka juga diajarkan mengenai cara menanam maupun memetik sayuran," katanya.
Menurut dia, di Desa Serang terdapat sekitar 50 hektare lahan yang ditanami stroberi dan siap untuk dikembangkan sebagai kawasan agrowisata.
Kendati demikian, dia mengakui adanya kendala dalam pengembangan agrowisata stroberi.
"Kalau sedang musim panen, seluruhnya panen sehingga kadang ada buah dan kadang pula tidak ada buahnya. Itulah yang menjadi kendala bagi kami," katanya.
Terkait hal itu, dia mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat agar masa tanam buah stroberi dapat diatur sedemikian rupa sehingga wisatawan tidak akan kecewa karena buahnya selalu tersedia.
Selain itu, kata dia, pihaknya berupaya agar agrowisata sayuran dapat turut dikembangkan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan tidak adanya tanaman stroberi yang berbuah.
Dalam hal ini, lanjutnya, wisatawan dapat diajak untuk memetik sayuran jika ternyata tidak ada tanaman stroberi yang berbuah.
"Meski demikian, kami akui faktor cuaca cukup memengaruhi kondisi tanaman," katanya.
Sementara itu Kepala Desa Serang, Sugito mengatakan, stroberi merupakan tanaman buah yang menjadi primadona di Kabupaten Purbalingga, khususnya Desa Serang.
Selain dikembangkan sebagai agrowisata, menurut dia, buah stroberi dari Desa Serang hingga saat ini telah banyak dipasarkan di sejumlah objek wisata, antara lain di Purbalingga, Banyumas, Pemalang, Pekalongan, Banjarnegara, dan Yogyakarta.
Terkait upaya pengembangan desa wisata di Serang, dia mengatakan, saat ini perkembangan "homestay" (rumah inap, red.) sudah sangat pesat.
"Di sini sudah ada 40 'homestay' yang layak bagi wisatawan yang ingin menikmati kesejukan alam Desa Serang," katanya.
Menurut dia, wisatawan juga dapat memetik buah stroberi dan sayuran di desa yang mendapat julukan "planet stroberi" ini.
Ia berharap, tanaman stroberi dapat terus dikembangkan di Desa Serang karena selain untuk mendukung agrowisata, tanaman buah ini telah meningkatkan penghasilan warga setempat.
"Kalau ditotal dalam setahun, perputaran uang yang dihasilkan dari tanaman stroberi mencapai Rp42 miliar," katanya.
Ia mengatakan, hal itu diketahui dari produksi stroberi saat musim panen mencapai lima ton per hari dengan harga Rp15 ribu per kilogram.
Sementara mengenai pengembangan desa wisata di Serang, dia mengatakan, hal itu dikembangkan dengan berbasis kemasyarakatan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan.
"Oleh karena itu, kami berharap wisatawan yang datang ke sini dapat menginap di rumah-rumah warga sehingga masyarakat pun bisa turut menikmati penghasilan dari 'homestay' yang mereka kelola. Kami juga berharap Desa Wisata Serang dapat terus dipromosikan sehingga wisatawan yang datang akan semakin banyak," katanya.
Paket wisata yang dikemas untuk mengembangkan Desa Wisata Serang berupa "Seranggola Agro dan Ekowisata". Seranggola merupakan kependekan dari Serang-Goa Lawa.
Dalam hal ini, ada 11 paket wisata yang disiapkan antara lain petik stroberi, "tracking tour" aku cinta lingkungan, aku petani hebat, "outbond fun game", kita bersahabat, dan kelelawar keluar sarang.
Selain itu, terdapat juga paket kuliner jamur tiram dan wisata olah raga. Untuk paket ini, wisatawan diajak "tracking" menyusuri kebun sayur dan stroberi menuju air terjun Curug Lawang sambil memanjakan pengunjung untuk berwisata pada kondisi alam yang masih asli.
Bagi wisawatan yang ingin bermalam di Desa Serang, dapat menginap di "homestay" dengan tarif yang cukup murah, yakni sebesar Rp50 ribu per orang.
Di tempat ini, wisatawan akan disuguhi berbagai makanan khas Desa Serang dengan keramahan pemilik rumah yang dijadikan "homestay". (http://www.antarajateng.com
Keindahan dan kesejukan alam Desa Serang, Kecamatan Karangreja, merupakan salah satu aset wisata andalan Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah.
Kerukunan warga yang terpancarkan melalui kegiatan kerja bakti membersihkan lingkungan setiap Minggu pagi semakin menambah keasrian desa yang berada di lereng Gunung Slamet sebelah timur ini.
Hal itulah yang mendorong Bupati Purbalingga, Triyono Budi Sasongko menjelang akhir masa jabatannya mencanangkan Desa Serang sebagai salah satu desa wisata andalan Kabupaten Purbalingga.
Cita-cita menjadikan Desa Serang yang berada pada ketinggian 1.100-1.600 meter di atas permukaan laut ini sebagai desa wisata bukanlah sekadar mimpi.
Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Disbudparpora) Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, berupaya mewujudkannya dengan menawarkan pesona wisata Desa Serang.
"Wisata Desa Serang cukup lengkap. Di sini banyak keindahan alam yang khas dengan tanaman buah stroberi dan sayuran serta kesenian lokal berupa Gumbeng Bambu Alas," kata Kepala Disbuparpora Purbalingga, Suyitno.
Dengan demikian, kata dia, Desa Serang cukup layak untuk dikembangkan sebagai sebuah desa wisata karena memiliki kesejukan alam yang diharapkan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Selain agrowisata stroberi, lanjutnya, di Desa Serang akan dilengkapi dengan fasilitas wisata pendidikan.
"Anak didik kita diajak berwisata ke Desa Serang. Di samping untuk menikmati kesejukan alam, mereka juga diajarkan mengenai cara menanam maupun memetik sayuran," katanya.
Menurut dia, di Desa Serang terdapat sekitar 50 hektare lahan yang ditanami stroberi dan siap untuk dikembangkan sebagai kawasan agrowisata.
Kendati demikian, dia mengakui adanya kendala dalam pengembangan agrowisata stroberi.
"Kalau sedang musim panen, seluruhnya panen sehingga kadang ada buah dan kadang pula tidak ada buahnya. Itulah yang menjadi kendala bagi kami," katanya.
Terkait hal itu, dia mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan pemerintah desa setempat agar masa tanam buah stroberi dapat diatur sedemikian rupa sehingga wisatawan tidak akan kecewa karena buahnya selalu tersedia.
Selain itu, kata dia, pihaknya berupaya agar agrowisata sayuran dapat turut dikembangkan sebagai antisipasi terhadap kemungkinan tidak adanya tanaman stroberi yang berbuah.
Dalam hal ini, lanjutnya, wisatawan dapat diajak untuk memetik sayuran jika ternyata tidak ada tanaman stroberi yang berbuah.
"Meski demikian, kami akui faktor cuaca cukup memengaruhi kondisi tanaman," katanya.
Sementara itu Kepala Desa Serang, Sugito mengatakan, stroberi merupakan tanaman buah yang menjadi primadona di Kabupaten Purbalingga, khususnya Desa Serang.
Selain dikembangkan sebagai agrowisata, menurut dia, buah stroberi dari Desa Serang hingga saat ini telah banyak dipasarkan di sejumlah objek wisata, antara lain di Purbalingga, Banyumas, Pemalang, Pekalongan, Banjarnegara, dan Yogyakarta.
Terkait upaya pengembangan desa wisata di Serang, dia mengatakan, saat ini perkembangan "homestay" (rumah inap, red.) sudah sangat pesat.
"Di sini sudah ada 40 'homestay' yang layak bagi wisatawan yang ingin menikmati kesejukan alam Desa Serang," katanya.
Menurut dia, wisatawan juga dapat memetik buah stroberi dan sayuran di desa yang mendapat julukan "planet stroberi" ini.
Ia berharap, tanaman stroberi dapat terus dikembangkan di Desa Serang karena selain untuk mendukung agrowisata, tanaman buah ini telah meningkatkan penghasilan warga setempat.
"Kalau ditotal dalam setahun, perputaran uang yang dihasilkan dari tanaman stroberi mencapai Rp42 miliar," katanya.
Ia mengatakan, hal itu diketahui dari produksi stroberi saat musim panen mencapai lima ton per hari dengan harga Rp15 ribu per kilogram.
Sementara mengenai pengembangan desa wisata di Serang, dia mengatakan, hal itu dikembangkan dengan berbasis kemasyarakatan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan.
"Oleh karena itu, kami berharap wisatawan yang datang ke sini dapat menginap di rumah-rumah warga sehingga masyarakat pun bisa turut menikmati penghasilan dari 'homestay' yang mereka kelola. Kami juga berharap Desa Wisata Serang dapat terus dipromosikan sehingga wisatawan yang datang akan semakin banyak," katanya.
Paket wisata yang dikemas untuk mengembangkan Desa Wisata Serang berupa "Seranggola Agro dan Ekowisata". Seranggola merupakan kependekan dari Serang-Goa Lawa.
Dalam hal ini, ada 11 paket wisata yang disiapkan antara lain petik stroberi, "tracking tour" aku cinta lingkungan, aku petani hebat, "outbond fun game", kita bersahabat, dan kelelawar keluar sarang.
Selain itu, terdapat juga paket kuliner jamur tiram dan wisata olah raga. Untuk paket ini, wisatawan diajak "tracking" menyusuri kebun sayur dan stroberi menuju air terjun Curug Lawang sambil memanjakan pengunjung untuk berwisata pada kondisi alam yang masih asli.
Bagi wisawatan yang ingin bermalam di Desa Serang, dapat menginap di "homestay" dengan tarif yang cukup murah, yakni sebesar Rp50 ribu per orang.
Di tempat ini, wisatawan akan disuguhi berbagai makanan khas Desa Serang dengan keramahan pemilik rumah yang dijadikan "homestay". (http://www.antarajateng.com
Ketika Bisnis Narkoba Terungkap di Lapas Narkotika
Sabtu, 12 Mar 2011 07:24:14 WIB | Oleh : Sumarwoto/ M Hari Atmoko
Meskipun nama Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sudah cukup dikenal orang, lapas ini "mendadak" jadi pembicaraan publik.
Dikenalnya nama Lapas Narkotika Nusakambangan oleh sebagian masyarakat ini lantaran banyaknya kegiatan pemberdayaan dan pembinaan narapidana yang merupakan "ide gila" Sang Kepala Lapas Narkotika, Marwan Adli.
Tak sedikit kegiatan dalam rangka pembedayaan dan pembinaan bagi narapidana digelar Lapas Narkotika dengan menggandeng sejumlah institusi, antara lain pelatihan ternak sapi, budi daya lebah madu, membatik, dan yang baru saja diselenggarakan adalah pelatihan "hypnotherapy" pada awal Maret ini.
Yang lebih "gila" lagi, Lapas Narkotika mengirimkan 20 narapidana pelatihan ternak sapi ke Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto pada bulan Mei 2009.
Di antara 20 narapidana tersebut, salah satunya bernama Hartoni Jaya Buana yang tersangkut kasus narkoba sehingga harus mendekam di Lapas Narkotika Nusakambangan.
Nama Hartoni inilah yang mengawali Lapas Narkotika Nusakambangan berikut kepalanya menjadi sorotan publik.
Hal ini berawal dari informasi mengenai adanya indikasi peredaran narkoba di Nusakambangan ini, dari caraka dan Satuan Narkoba Polres Banyumas.
Setelah melakukan penyelidikan selama satu bulan dan mendapat informasi akurat, Satuan Narkoba Polres Cilacap yang dipimpin Ajun Komisari Polisi Anung Suyadi melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap napi Lapas Narkotika Nusakambangan pada Rabu (16/2), pukul 14.00 WIB.
Dalam hal ini, petugas menangkap dua napi, yakni Hartoni Jaya Buana dan Cahyono alias Nyoto yang sedang berada di sebuah bangunan rumah berukuran 4x6 meter di dekat peternakan sapi milik Lapas Narkotika.
Kedua napi ini sedang menjalani masa asimilasi menjelang berakhirnya hukuman mereka sehingga diperkenankan di luar lapas untuk mengurusi sapi di peternakan.
Hartoni akan bebas bersyarat pada bulan Mei 2011, sedangkan Cahyono bebas enam bulan lagi.
Sementara dalam penggeledahan di tempat tersebut, petugas berhasil mengamankan barang bukti berupa narkotika jenis sabu seberat 318,3 gram yang terbagi dalam beberapa paket dan lima buah telepon seluler.
Setelah dilakukan interogasi, seluruh barang bukti tersebut diketahui milik Hartoni.
Pengungkapan kasus kepemilikan narkoba oleh Hartoni tersebut dikembangkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang rutin mengadakan kegiatan di Pulau Nusakambangan karena adanya kerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Apalagi pada bulan Januari 2011, BNN berhasil mengungkap jaringan sindikat narkoba internasional yang dikendalikan oleh seorang narapidana berkewarganegaraan Nepal penghuni Lapas Pasir Putih Nusakambangan, yakni Surya Bahadur Tamang alias Kiran alias Boski yang dalam menjalankan aksinya dibantu seorang pegawai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Purwokerto yang pernah menjadi sipir di Nusakambangan, yakni Didi Riyanto.
Selain itu, BNN bersama Satuan Tugas Keamanan dan Ketertiban (Satgas Kamtib) Lapas Pulau Nusakambangan berhasil menggagalkan penyelundupan paket sabu seberat 280 gram ke dalam Lapas Besi Nusakambangan.
Paket sabu yang dikirim seseorang bernama Leo tersebut ditujukan untuk Eddy di Lapas Besi yang ternyata adalah "Jenderal Besar" Yoyo. Konon omzet sang "Jenderal Besar" ini mencapai Rp20 miliar per hari.
Oleh karena itulah, Kalapas Besi Dasep Suryana melalui Kantor Wilayah Kemenkumham Jateng meminta BNN untuk menggelar tes urine bagi seluruh narapidana dan pegawai lapas tersebut.
Tes urine juga digelar di Lapas Pasir Putih dan Lapas Narkotika.
Dari 176 petugas lapas yang diperiksa, 11 orang di antaranya diidentifikasikan positif menggunakan narkoba, sedangkan dari 596 narapidana yang diperiksa, 144 orang di antaranya positif menggunakan narkoba.
Akan tetapi akibat perbuatan pegawai dan narapidana yang mengonsumsi narkoba, Dasep Suryana dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Kalapas Besi, karena dinilai tidak menjalankan tugasnya dengan baik, serta untuk mempermudah pemeriksaan.
BNN pun terus berkonsentrasi memantau Pulau Nusakambangan karena diduga masih ada jaringan perdagangan narkoba lainnya.
"Kami masih fokus di sini karena diduga masih ada yang lain. Berarti di sini, pulau penjara atau pulau pengedar narkoba," ujar Direktur Narkotika Alami BNN, Benny Mamoto, di Lapas Narkotika, Kamis (10/3).
Setelah melakukan penyelidikan, kata dia, BNN akhirnya bisa mengungkap jaringan perdagangan narkotika yang dikendalikan oleh Hartoni Jaya Buana.
Bahkan, katanya, Kalapas Narkotika Marwan Adli bersama dua stafnya, Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Iwan Syaefuddin, dan Kepala Seksi Bina Pendidikan Fob Budhiyono diduga terlibat dalam bisnis tersebut sehingga ketiga orang ini ditangkap pada Selasa (8/3).
"Mereka patut diduga menerima aliran dana hasil perdagangan narkoba yang dilakukan Hartoni," katanya.
Selain itu, kata dia, BNN juga menangkap cucu angkat Marwan Adli berinisial R (18).
Dalam hal ini, katanya, aliran dana yang diterima Marwan diduga ditampung dalam rekening BCA atas nama cucu angkatnya hingga miliaran rupiah.
"Tidak menutup kemungkinan masih ada rekening lain yang diatasnamakan kerabatnya. Kami masih menelusurinya termasuk kapan rekening tersebut dibuka dan bagaimana alurnya," kata Benny.
Terkait dengan kasus yang dihadapinya, Marwan Adli enggan berkomentar banyak.
Dia hanya bersedia menjelaskan masalah dana di rekening tersebut dalam pemeriksaan.
"Saya akan kooperatif dan mengikuti prosedur pemeriksaan yang dilakukan BNN," katanya.
Kendati demikian, dia menyayangkan pemberitaan di media massa yang dinilai tidak seimbang dan cenderung memojokkan dirinya.
Menurut dia, berita tersebut menyatakan jika dalam penggeledahan ruang Kantor Kalapas Narkotika Nusakambangan, ditemukan narkoba, 18 telepon seluler, dan daftar nama-nama yang diduga sebagai konsumen narkoba.
"Saya selalu berusaha untuk membersihkan lapas ini dari peredaran narkoba. Saya siap dihukum mati jika memang ternyata saya pengguna, memiliki, atau menyimpan narkoba," katanya.
Menurut dia, 18 telepon seluler tersebut disita dari para narapidana pascates urine Januari silam yang menyebutkan adanya sejumlah napi yang diketahui menggunakan narkoba.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya melakukan penggeledahan sehingga mendapatkan 18 telepon seluler tersebut, sedangkan para pemiliknya segera diisolasi.
"Kami juga telah mengusulkan pencabutan hak remisinya, penghentian jadwal kunjungan keluarga, dan memasukkan dalam daftar register 'F'," katanya.
Sementara itu, saat melakukan inspeksi ke Lapas Narkotika, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan, pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap sistem pembinaan di dalam lapas.
"Kita akan secara terus-menerus melakukan evaluasi. Evaluasi itu tidak dilakukan sendiri oleh Kemenkumham, kita juga ada kerja sama dengan BNN (Badan Narkotika Nasional, red.) yang cukup intensif," katanya.
Oleh karena itu, kata Menkumham, Marwan Adli akan diistirahatkan dulu dari jabatannya sebagai Kepala Lapas Narkotika Nusakambangan.
"Salah atau tidak salah, Pak Marwan diistirahatkan dulu," katanya.
Menurut dia, pihaknya masih akan menyelidiki kasus tersebut agar tidak terulang.
Terkait kemungkinan terulangnya kasus perdagangan narkoba di pulau ini, dia mengatakan, Nusakambangan harus tertutup, tidak boleh terbuka untuk umum.
Menurut dia, hal itu disebabkan ada tujuh lapas di Pulau Nusakambangan.
"Untuk itu, kita akan akan berkoordinasi dengan Polda Jateng dan meminta piket untuk melakukan monitoring pintu-pintu masuk (Nusakambangan, red.) yang tidak dijaga di sepanjang pulau ini," katanya.
Menyinggung upaya antisipasi adanya peredaran narkoba di dalam lapas, Menkumham mengatakan, Kanwil Kemenkumham Jateng bersama BNN telah melakukan tes urine.
"Orang-orang yang diduga ada pengaruh dari urine itu langsung dikandangin sama Pak Marwan, langsung disel khusus. Jadi, jangan dibilang kita tidak melakukan monitoring, setiap saat," katanya.
Kendati demikian, dia mengatakan, hal itu berdasarkan cerita yang disampaikan para petugas di Lapas Narkotika.
Akan tetapi, kata dia, tidak menutup kemungkinan benar atau tidak benar sehingga hal itu akan diperiksa dulu. (http://www.antarajateng.com)
Meskipun nama Lembaga Pemasyarakatan Narkotika, Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, sudah cukup dikenal orang, lapas ini "mendadak" jadi pembicaraan publik.
Dikenalnya nama Lapas Narkotika Nusakambangan oleh sebagian masyarakat ini lantaran banyaknya kegiatan pemberdayaan dan pembinaan narapidana yang merupakan "ide gila" Sang Kepala Lapas Narkotika, Marwan Adli.
Tak sedikit kegiatan dalam rangka pembedayaan dan pembinaan bagi narapidana digelar Lapas Narkotika dengan menggandeng sejumlah institusi, antara lain pelatihan ternak sapi, budi daya lebah madu, membatik, dan yang baru saja diselenggarakan adalah pelatihan "hypnotherapy" pada awal Maret ini.
Yang lebih "gila" lagi, Lapas Narkotika mengirimkan 20 narapidana pelatihan ternak sapi ke Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto pada bulan Mei 2009.
Di antara 20 narapidana tersebut, salah satunya bernama Hartoni Jaya Buana yang tersangkut kasus narkoba sehingga harus mendekam di Lapas Narkotika Nusakambangan.
Nama Hartoni inilah yang mengawali Lapas Narkotika Nusakambangan berikut kepalanya menjadi sorotan publik.
Hal ini berawal dari informasi mengenai adanya indikasi peredaran narkoba di Nusakambangan ini, dari caraka dan Satuan Narkoba Polres Banyumas.
Setelah melakukan penyelidikan selama satu bulan dan mendapat informasi akurat, Satuan Narkoba Polres Cilacap yang dipimpin Ajun Komisari Polisi Anung Suyadi melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap napi Lapas Narkotika Nusakambangan pada Rabu (16/2), pukul 14.00 WIB.
Dalam hal ini, petugas menangkap dua napi, yakni Hartoni Jaya Buana dan Cahyono alias Nyoto yang sedang berada di sebuah bangunan rumah berukuran 4x6 meter di dekat peternakan sapi milik Lapas Narkotika.
Kedua napi ini sedang menjalani masa asimilasi menjelang berakhirnya hukuman mereka sehingga diperkenankan di luar lapas untuk mengurusi sapi di peternakan.
Hartoni akan bebas bersyarat pada bulan Mei 2011, sedangkan Cahyono bebas enam bulan lagi.
Sementara dalam penggeledahan di tempat tersebut, petugas berhasil mengamankan barang bukti berupa narkotika jenis sabu seberat 318,3 gram yang terbagi dalam beberapa paket dan lima buah telepon seluler.
Setelah dilakukan interogasi, seluruh barang bukti tersebut diketahui milik Hartoni.
Pengungkapan kasus kepemilikan narkoba oleh Hartoni tersebut dikembangkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) yang rutin mengadakan kegiatan di Pulau Nusakambangan karena adanya kerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
Apalagi pada bulan Januari 2011, BNN berhasil mengungkap jaringan sindikat narkoba internasional yang dikendalikan oleh seorang narapidana berkewarganegaraan Nepal penghuni Lapas Pasir Putih Nusakambangan, yakni Surya Bahadur Tamang alias Kiran alias Boski yang dalam menjalankan aksinya dibantu seorang pegawai Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan) Purwokerto yang pernah menjadi sipir di Nusakambangan, yakni Didi Riyanto.
Selain itu, BNN bersama Satuan Tugas Keamanan dan Ketertiban (Satgas Kamtib) Lapas Pulau Nusakambangan berhasil menggagalkan penyelundupan paket sabu seberat 280 gram ke dalam Lapas Besi Nusakambangan.
Paket sabu yang dikirim seseorang bernama Leo tersebut ditujukan untuk Eddy di Lapas Besi yang ternyata adalah "Jenderal Besar" Yoyo. Konon omzet sang "Jenderal Besar" ini mencapai Rp20 miliar per hari.
Oleh karena itulah, Kalapas Besi Dasep Suryana melalui Kantor Wilayah Kemenkumham Jateng meminta BNN untuk menggelar tes urine bagi seluruh narapidana dan pegawai lapas tersebut.
Tes urine juga digelar di Lapas Pasir Putih dan Lapas Narkotika.
Dari 176 petugas lapas yang diperiksa, 11 orang di antaranya diidentifikasikan positif menggunakan narkoba, sedangkan dari 596 narapidana yang diperiksa, 144 orang di antaranya positif menggunakan narkoba.
Akan tetapi akibat perbuatan pegawai dan narapidana yang mengonsumsi narkoba, Dasep Suryana dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Kalapas Besi, karena dinilai tidak menjalankan tugasnya dengan baik, serta untuk mempermudah pemeriksaan.
BNN pun terus berkonsentrasi memantau Pulau Nusakambangan karena diduga masih ada jaringan perdagangan narkoba lainnya.
"Kami masih fokus di sini karena diduga masih ada yang lain. Berarti di sini, pulau penjara atau pulau pengedar narkoba," ujar Direktur Narkotika Alami BNN, Benny Mamoto, di Lapas Narkotika, Kamis (10/3).
Setelah melakukan penyelidikan, kata dia, BNN akhirnya bisa mengungkap jaringan perdagangan narkotika yang dikendalikan oleh Hartoni Jaya Buana.
Bahkan, katanya, Kalapas Narkotika Marwan Adli bersama dua stafnya, Kepala Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Iwan Syaefuddin, dan Kepala Seksi Bina Pendidikan Fob Budhiyono diduga terlibat dalam bisnis tersebut sehingga ketiga orang ini ditangkap pada Selasa (8/3).
"Mereka patut diduga menerima aliran dana hasil perdagangan narkoba yang dilakukan Hartoni," katanya.
Selain itu, kata dia, BNN juga menangkap cucu angkat Marwan Adli berinisial R (18).
Dalam hal ini, katanya, aliran dana yang diterima Marwan diduga ditampung dalam rekening BCA atas nama cucu angkatnya hingga miliaran rupiah.
"Tidak menutup kemungkinan masih ada rekening lain yang diatasnamakan kerabatnya. Kami masih menelusurinya termasuk kapan rekening tersebut dibuka dan bagaimana alurnya," kata Benny.
Terkait dengan kasus yang dihadapinya, Marwan Adli enggan berkomentar banyak.
Dia hanya bersedia menjelaskan masalah dana di rekening tersebut dalam pemeriksaan.
"Saya akan kooperatif dan mengikuti prosedur pemeriksaan yang dilakukan BNN," katanya.
Kendati demikian, dia menyayangkan pemberitaan di media massa yang dinilai tidak seimbang dan cenderung memojokkan dirinya.
Menurut dia, berita tersebut menyatakan jika dalam penggeledahan ruang Kantor Kalapas Narkotika Nusakambangan, ditemukan narkoba, 18 telepon seluler, dan daftar nama-nama yang diduga sebagai konsumen narkoba.
"Saya selalu berusaha untuk membersihkan lapas ini dari peredaran narkoba. Saya siap dihukum mati jika memang ternyata saya pengguna, memiliki, atau menyimpan narkoba," katanya.
Menurut dia, 18 telepon seluler tersebut disita dari para narapidana pascates urine Januari silam yang menyebutkan adanya sejumlah napi yang diketahui menggunakan narkoba.
Oleh karena itu, kata dia, pihaknya melakukan penggeledahan sehingga mendapatkan 18 telepon seluler tersebut, sedangkan para pemiliknya segera diisolasi.
"Kami juga telah mengusulkan pencabutan hak remisinya, penghentian jadwal kunjungan keluarga, dan memasukkan dalam daftar register 'F'," katanya.
Sementara itu, saat melakukan inspeksi ke Lapas Narkotika, Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan, pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap sistem pembinaan di dalam lapas.
"Kita akan secara terus-menerus melakukan evaluasi. Evaluasi itu tidak dilakukan sendiri oleh Kemenkumham, kita juga ada kerja sama dengan BNN (Badan Narkotika Nasional, red.) yang cukup intensif," katanya.
Oleh karena itu, kata Menkumham, Marwan Adli akan diistirahatkan dulu dari jabatannya sebagai Kepala Lapas Narkotika Nusakambangan.
"Salah atau tidak salah, Pak Marwan diistirahatkan dulu," katanya.
Menurut dia, pihaknya masih akan menyelidiki kasus tersebut agar tidak terulang.
Terkait kemungkinan terulangnya kasus perdagangan narkoba di pulau ini, dia mengatakan, Nusakambangan harus tertutup, tidak boleh terbuka untuk umum.
Menurut dia, hal itu disebabkan ada tujuh lapas di Pulau Nusakambangan.
"Untuk itu, kita akan akan berkoordinasi dengan Polda Jateng dan meminta piket untuk melakukan monitoring pintu-pintu masuk (Nusakambangan, red.) yang tidak dijaga di sepanjang pulau ini," katanya.
Menyinggung upaya antisipasi adanya peredaran narkoba di dalam lapas, Menkumham mengatakan, Kanwil Kemenkumham Jateng bersama BNN telah melakukan tes urine.
"Orang-orang yang diduga ada pengaruh dari urine itu langsung dikandangin sama Pak Marwan, langsung disel khusus. Jadi, jangan dibilang kita tidak melakukan monitoring, setiap saat," katanya.
Kendati demikian, dia mengatakan, hal itu berdasarkan cerita yang disampaikan para petugas di Lapas Narkotika.
Akan tetapi, kata dia, tidak menutup kemungkinan benar atau tidak benar sehingga hal itu akan diperiksa dulu. (http://www.antarajateng.com)
Meraup Rupiah dari Arang Tempurung Kelapa
Sabtu, 05 Mar 2011 20:42:50 WIB | Oleh : Sumarwoto/ M Hari Atmoko
Berawal dari kepeduliannya terhadap lingkungan menjadikan nama Endeng Kusnanto dikenal oleh sejumlah pengusaha di Korea dan Yunani.
Hal ini disebabkan arang maupun briket tempurung kelapa buatannya berhasil menembus pasar di negara tersebut.
"Saya memulai usaha ini pada tahun 1992. Saat itu, saya bertemu dengan seorang dosen dan para mahasiswanya," kata Endeng Kusnanto, warga Desa Panulisan Timur, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu (5/3).
Dalam pertemuan tersebut, mereka membicarakan masalah pemanfaatan limbah sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan.
Berangkat dari pembicaraan tersebut, Endeng pun tertarik untuk mencoba memanfaatkan limbah tempurung kelapa yang sering kali mengotori lingkungan.
"Pemanfaatan tempurung kelapa ini juga dapat meningkatkan nilai jual kelapa itu sendiri," katanya.
Menurut dia, tempurung yang dijadikan arang ini memiliki dua fungsi, yakni sebagai karbon aktif dan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan bau menyengat.
Dalam hal ini, kata dia, karbon aktif merupakan arang yang telah diaktifkan melalui proses tertentu sehingga mempunyai daya serap terhadap racun dan limbah.
Di sejumlah negara, karbon aktif biasa digunakan untuk industri farmasi, menetralisasi air limbah yang akan dibuang, dan penjernih dalam industri air mineral.
Endeng mengatakan, negara Korea hingga saat ini rutin mengimpor karbon aktif dari arang tempurung kelapa buatannya.
"Alhamdulillah, pesanan dari Korea rutin dilakukan. Bulan ini saja, kami harus mengirimkan tiga kontainer untuk tiga 'buyer' (pembeli, red.)," katanya.
Menurut dia, nilai ekspor arang tempurung kelapa tersebut mencapai Rp200 juta lebih karena dalam satu kontainer berisi 26 ton dengan harga Rp2.600 per kilogram.
Ia mengatakan, arang tempurung kelapa yang diekspor ini terlebih dulu digiling menjadi butiran kecil berukuran sekitar satu centimeter persegi.
Sementara dari limbah atau sisa penggilingan arang tempurung kelapa tersebut, kata dia, selanjutnya dibuat menjadi bahan bakar alternatif berupa briket.
"Briket arang tempurung kelapa ini berbeda dengan briket batu bara yang menimbulkan bau sulfur kalau dibakar. Briket arang tempurung kelapa ini tidak menimbulkan bau menyengat jika dibakar," katanya.
Menurut dia, briket arang tempurung kelapa ini untuk sementara masih dipasarkan di pasar lokal melalui perwakilan pemasaran di Cirebon dan Yogyakarta di samping memasok kebutuhan bahan bakar di salah satu pabrik pengolahan teh.
Kendati demikian, dia mengaku, pernah melakukan ekspor briket tempurung kelapa ke Yunani pada tahun 2005 sebanyak dua kontainer dengan nilai hingga Rp125 juta.
"Pabrik teh memanfaatkan briket ini sebagai pengganti kayu bakar sehingga diharapkan dapat mengurangi pembalakan liar. Selain itu, abu hasil pembakaran briket ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk karena terbuat dari bahan alami," katanya.
Dia mengakui adanya kelemahan dari penggunaan briket sebagai bahan bakar sehingga kurang diminati untuk keperluan rumah tangga meskipun harganya relatif lebih murah dibanding minyak tanah.
"Dulu sewaktu harga minyak tanah masih Rp3.000 per liter, efisiensinya sama dengan briket yang harganya hingga sekarang masih Rp3.000 per kilogram. Oleh karena panasnya yang tahan lama dan sulit dimatikan, hingga sekarang masih jarang rumah tangga yang memanfaatkannya sebagai bahan bakar," katanya.
Meskipun demikian, dia mengaku optimistis suatu saat masyarakat akan memanfaatkan briket arang tempurung kelapa yang ramah lingkungan ini sebagai bahan bakar alternatif.
"Saat ini yang banyak memanfaatkan briket arang tempurung kelapa ini masih sebatas rumah makan dan industri. Mungkin suatu saat masyarakat akan menyadari bahwa briket arang tempurung kelapa ini ramah lingkungan sehingga mereka akan memanfaatkannya," kata Endeng.
Disinggung mengenai bahan baku berupa tempurung kelapa, dia mengatakan, hingga saat ini sebagian besar berasal dari wilayah Priangan Timur (Jawa Barat bagian timur, red.) dan sisanya dari beberapa daerah di Kabupayen Cilacap.
"Oleh karena itu, saat diminta menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cilacap beberapa waktu lalu, saya meminta kepada 10 kelompok petani kelapa yang mengikuti acara tersebut untuk terus mengembangkan budi daya kelapa," katanya.
Proses Pembuatan
Lebih lanjut mengenai proses pembuatan briket arang tempurung kelapa ini, koordinator produksi, Omon Rochman mengatakan, limbah arang tempurung kelapa yang telah dihaluskan ini diaduk dalam mesin "molen" (pengaduk, red.) untuk dicampur dengan lem.
"Kami menggunakan lem yang terbuat dari tepung tapioka. Jadi bahan baku pembuatan briket ini semuanya alami, tanpa campuran bahan kimia apapun," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, kandungan lem tepung tapioka dalam briket tersebut hanya tiga persen.
Ia mengatakan, adonan limbah arang tempurung dan lem tepung tapiokan tersebut selanjutnya dicetak.
"Cetakannya ada yang berbentuk biji jengkol dan ada pula yang heksagonal," katanya.
Menurut dia, dari satu ton limbah arang tempurung kelapa dapat menghasilkan sekitar 1,5 ton briket basah dan setelah dikeringkan menjadi satu ton briket.
Ia mengatakan, kapasitas produksi untuk mesin cetak yang berbentuk biji jengkol dapat dimaksimalkan hingga lima ton per hari, sedangkan heksagonal bisa mencapai tiga ton per hari.
"Namun untuk saat ini rata-rata hanya dua ton per hari," katanya.
Sementara mengenai proses pengeringan briket, dia mengatakan, hal itu membutuhkan waktu maksimal empat hari untuk bentuk biji jengkol dan lima hari untuk bentuk heksagonal.
Akan tetapi jika cuaca kurang mendukung, kata dia, proses pengeringan menggunakan oven dan membutuhkan waktu hingga dua hari.
Usulkan Kalpataru
Terkait upaya yang dikembangkan Endeng Kusnanto, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Cilacap akan mengusulkan warga Desa Panulisan Timur ini untuk memperoleh penghargaan Kalpataru.
"Kami berencana mengusulkan Pak Endeng untuk memperoleh Kalpataru," kata Kepala Bidang Produksi Dishutbun Kabupaten Cilacap, T Setyo Effendhy.
Menurut dia, Endeng Kusnanto layak mendapatkan penghargaan Kalpataru karena usaha yang digeluti warga Desa Panulisan Timur ini berwawasan penyelamatan lingkungan.
Dalam hal ini, kata dia, usaha Endeng Kusnanto berawal dari mengumpulkan tempurung kelapa yang sering kali mengotori lingkungan untuk dijadikan arang kelapa dan selanjutnya dibuat menjadi briket.
Ia mengatakan, abu dari hasil pembakaran briket ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman.
Selain itu, lanjutnya, pemanfaatan briket arang tempurung kelapa ini juga dapat mengurangi penggunaan kayu bakar yang sering kali diperoleh melalui pembalakan liar.
"Jadi, apa yang dilakukan Pak Endeng merupakan salah satu upaya penyelematan lingkungan yang ditujukan untuk mengurangi pemanfaatan kayu bakar. Selain itu, briket arang tempurung kelapa ini juga ramah lingkungan karena terbuat dari bahan alami, tidak menimbulkan polusi, dan abunya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk," katanya. (http://www.antarajateng.com)
Berawal dari kepeduliannya terhadap lingkungan menjadikan nama Endeng Kusnanto dikenal oleh sejumlah pengusaha di Korea dan Yunani.
Hal ini disebabkan arang maupun briket tempurung kelapa buatannya berhasil menembus pasar di negara tersebut.
"Saya memulai usaha ini pada tahun 1992. Saat itu, saya bertemu dengan seorang dosen dan para mahasiswanya," kata Endeng Kusnanto, warga Desa Panulisan Timur, Kecamatan Dayeuhluhur, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, Sabtu (5/3).
Dalam pertemuan tersebut, mereka membicarakan masalah pemanfaatan limbah sebagai energi alternatif yang ramah lingkungan.
Berangkat dari pembicaraan tersebut, Endeng pun tertarik untuk mencoba memanfaatkan limbah tempurung kelapa yang sering kali mengotori lingkungan.
"Pemanfaatan tempurung kelapa ini juga dapat meningkatkan nilai jual kelapa itu sendiri," katanya.
Menurut dia, tempurung yang dijadikan arang ini memiliki dua fungsi, yakni sebagai karbon aktif dan bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan karena tidak menimbulkan bau menyengat.
Dalam hal ini, kata dia, karbon aktif merupakan arang yang telah diaktifkan melalui proses tertentu sehingga mempunyai daya serap terhadap racun dan limbah.
Di sejumlah negara, karbon aktif biasa digunakan untuk industri farmasi, menetralisasi air limbah yang akan dibuang, dan penjernih dalam industri air mineral.
Endeng mengatakan, negara Korea hingga saat ini rutin mengimpor karbon aktif dari arang tempurung kelapa buatannya.
"Alhamdulillah, pesanan dari Korea rutin dilakukan. Bulan ini saja, kami harus mengirimkan tiga kontainer untuk tiga 'buyer' (pembeli, red.)," katanya.
Menurut dia, nilai ekspor arang tempurung kelapa tersebut mencapai Rp200 juta lebih karena dalam satu kontainer berisi 26 ton dengan harga Rp2.600 per kilogram.
Ia mengatakan, arang tempurung kelapa yang diekspor ini terlebih dulu digiling menjadi butiran kecil berukuran sekitar satu centimeter persegi.
Sementara dari limbah atau sisa penggilingan arang tempurung kelapa tersebut, kata dia, selanjutnya dibuat menjadi bahan bakar alternatif berupa briket.
"Briket arang tempurung kelapa ini berbeda dengan briket batu bara yang menimbulkan bau sulfur kalau dibakar. Briket arang tempurung kelapa ini tidak menimbulkan bau menyengat jika dibakar," katanya.
Menurut dia, briket arang tempurung kelapa ini untuk sementara masih dipasarkan di pasar lokal melalui perwakilan pemasaran di Cirebon dan Yogyakarta di samping memasok kebutuhan bahan bakar di salah satu pabrik pengolahan teh.
Kendati demikian, dia mengaku, pernah melakukan ekspor briket tempurung kelapa ke Yunani pada tahun 2005 sebanyak dua kontainer dengan nilai hingga Rp125 juta.
"Pabrik teh memanfaatkan briket ini sebagai pengganti kayu bakar sehingga diharapkan dapat mengurangi pembalakan liar. Selain itu, abu hasil pembakaran briket ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk karena terbuat dari bahan alami," katanya.
Dia mengakui adanya kelemahan dari penggunaan briket sebagai bahan bakar sehingga kurang diminati untuk keperluan rumah tangga meskipun harganya relatif lebih murah dibanding minyak tanah.
"Dulu sewaktu harga minyak tanah masih Rp3.000 per liter, efisiensinya sama dengan briket yang harganya hingga sekarang masih Rp3.000 per kilogram. Oleh karena panasnya yang tahan lama dan sulit dimatikan, hingga sekarang masih jarang rumah tangga yang memanfaatkannya sebagai bahan bakar," katanya.
Meskipun demikian, dia mengaku optimistis suatu saat masyarakat akan memanfaatkan briket arang tempurung kelapa yang ramah lingkungan ini sebagai bahan bakar alternatif.
"Saat ini yang banyak memanfaatkan briket arang tempurung kelapa ini masih sebatas rumah makan dan industri. Mungkin suatu saat masyarakat akan menyadari bahwa briket arang tempurung kelapa ini ramah lingkungan sehingga mereka akan memanfaatkannya," kata Endeng.
Disinggung mengenai bahan baku berupa tempurung kelapa, dia mengatakan, hingga saat ini sebagian besar berasal dari wilayah Priangan Timur (Jawa Barat bagian timur, red.) dan sisanya dari beberapa daerah di Kabupayen Cilacap.
"Oleh karena itu, saat diminta menjadi pembicara dalam seminar yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Cilacap beberapa waktu lalu, saya meminta kepada 10 kelompok petani kelapa yang mengikuti acara tersebut untuk terus mengembangkan budi daya kelapa," katanya.
Proses Pembuatan
Lebih lanjut mengenai proses pembuatan briket arang tempurung kelapa ini, koordinator produksi, Omon Rochman mengatakan, limbah arang tempurung kelapa yang telah dihaluskan ini diaduk dalam mesin "molen" (pengaduk, red.) untuk dicampur dengan lem.
"Kami menggunakan lem yang terbuat dari tepung tapioka. Jadi bahan baku pembuatan briket ini semuanya alami, tanpa campuran bahan kimia apapun," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, kandungan lem tepung tapioka dalam briket tersebut hanya tiga persen.
Ia mengatakan, adonan limbah arang tempurung dan lem tepung tapiokan tersebut selanjutnya dicetak.
"Cetakannya ada yang berbentuk biji jengkol dan ada pula yang heksagonal," katanya.
Menurut dia, dari satu ton limbah arang tempurung kelapa dapat menghasilkan sekitar 1,5 ton briket basah dan setelah dikeringkan menjadi satu ton briket.
Ia mengatakan, kapasitas produksi untuk mesin cetak yang berbentuk biji jengkol dapat dimaksimalkan hingga lima ton per hari, sedangkan heksagonal bisa mencapai tiga ton per hari.
"Namun untuk saat ini rata-rata hanya dua ton per hari," katanya.
Sementara mengenai proses pengeringan briket, dia mengatakan, hal itu membutuhkan waktu maksimal empat hari untuk bentuk biji jengkol dan lima hari untuk bentuk heksagonal.
Akan tetapi jika cuaca kurang mendukung, kata dia, proses pengeringan menggunakan oven dan membutuhkan waktu hingga dua hari.
Usulkan Kalpataru
Terkait upaya yang dikembangkan Endeng Kusnanto, Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Cilacap akan mengusulkan warga Desa Panulisan Timur ini untuk memperoleh penghargaan Kalpataru.
"Kami berencana mengusulkan Pak Endeng untuk memperoleh Kalpataru," kata Kepala Bidang Produksi Dishutbun Kabupaten Cilacap, T Setyo Effendhy.
Menurut dia, Endeng Kusnanto layak mendapatkan penghargaan Kalpataru karena usaha yang digeluti warga Desa Panulisan Timur ini berwawasan penyelamatan lingkungan.
Dalam hal ini, kata dia, usaha Endeng Kusnanto berawal dari mengumpulkan tempurung kelapa yang sering kali mengotori lingkungan untuk dijadikan arang kelapa dan selanjutnya dibuat menjadi briket.
Ia mengatakan, abu dari hasil pembakaran briket ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk bagi tanaman.
Selain itu, lanjutnya, pemanfaatan briket arang tempurung kelapa ini juga dapat mengurangi penggunaan kayu bakar yang sering kali diperoleh melalui pembalakan liar.
"Jadi, apa yang dilakukan Pak Endeng merupakan salah satu upaya penyelematan lingkungan yang ditujukan untuk mengurangi pemanfaatan kayu bakar. Selain itu, briket arang tempurung kelapa ini juga ramah lingkungan karena terbuat dari bahan alami, tidak menimbulkan polusi, dan abunya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk," katanya. (http://www.antarajateng.com)
Peran Sipir Mengungkap Bisnis "Jenderal Besar"
Rabu, 02 Mar 2011 06:30:39 WIB | Oleh : Sumarwoto/ M Hari Atmoko
Akhir Februari lalu, Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis pengungkapan jaringan peredaran narkotika jenis sabu yang dikendalikan dari salah satu lembaga pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Konon, jaringan yang memiliki omzet hingga Rp20 miliar per hari ini dikendalikan oleh seorang narapidana kasus narkoba bernama Yoyo yang memiliki julukan "Jenderal Besar".
Informasi yang dihimpun ANTARA, terungkapnya bisnis sang "Jenderal Besar" ini tak lepas dari peranan sipir atau petugas lapas di Pulau Nusakambangan, khususnya Satuan Tugas Keamanan dan Ketertiban (Satgas Kamtib) yang bertugas di Dermaga Wijayapura Cilacap.
Satgas Kamtib inilah yang pertama kali membongkar upaya pengiriman narkotika jenis sabu seberat 280 gram yang ditujukan untuk Edi di Lapas Besi di Pulau Nusakambangan melalui jasa travel.
"Edi itu ternyata adalah Yoyo. Dia sengaja menggunakan nama Edy dalam pengiriman paket sabu tersebut," kata seorang anggota Satgas Kamtib kepada ANTARA di Dermaga Wijayapura, Selasa (1/3) sore.
Berdasarkan catatan ANTARA, upaya pengiriman atau penyelundupan sabu tersebut terbongkar pada akhir Januari silam.
"Upaya penyelundupan ini terkuak ketika tim Satgas Kamtib Lapas Nusakambangan yang bertugas di Dermaga Wijayapura, Cilacap, menerima sebuah paket yang dikirimkan melalui sebuah travel pada hari Jumat (21/1), pukul 08.30 WIB," kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Tengah, Mayun Mataram, di Dermaga Wijayapura, Cilacap, Rabu (26/1) petang.
Akan tetapi, kata dia, alamat pengirim maupun tujuan paket yang diterima Komandan Satgas Kamtib, Tunggul Wiryawan tersebut tidak tertulis dengan jelas karena alamat pengirim hanya tertulis nama Leo, Jakarta, dan sebuah nomor telepon seluler, sedangkan alamat tujuan hanya tertulis nama Edi, LP Besi, dan sebuah nomor telepon seluler.
Bahkan, nomor telepon seluler yang tercantum tidak bisa dihubungi oleh Satgas Kamtib sehingga paket itupun ditahan oleh petugas dan selanjutnya diserahkan kepada tim Satgas Kamtib yang bertugas malam.
Pada malam harinya, seorang petugas Lapas Besi datang ke Pos Dermaga Wijayapura dan hendak mengambil paket tersebut.
Satgas Kamtib pun tidak bersedia menyerahkan paket kepada petugas lapas tersebut karena sesuai ketentuan, paket atau surat hanya dapat diambil petugas yang ditunjuk oleh masing-masing kepala lapas.
Setelah berdebat cukup lama, mereka sepakat untuk membuka paket tersebut di pos penjagaan dan Satgas Kamtib akan menahan paket jika menemukan barang mencurigakan.
Saat paket tersebut dibuka, Satgas menemukan kemasan sebuah produk sereal yang mencurigakan karena dari tiga kemasan produk sejenis, hanya satu yang dilakban.
"Ketika lakban tersebut dibuka, ternyata terdapat sebuah kantong berisi serbuk warna putih yang dicurigai sebagai sabu-sabu," kata Mayun.
Ia mengatakan, penemuan paket yang dicurigai berisi barang haram tersebut semula hendak dilaporkan kepada Kepolisian Resor Cilacap untuk ditindaklanjuti.
Menurut dia, hal itu dilakukan karena Satgas Kamtib Lapas Nusakambangan belum memiliki kemahiran maupun dilengkapi alat untuk mengenali narkotika.
"Namun kami menerima informasi jika upaya penyelundupan tersebut sudah diintai oleh BNN. Keesokan harinya, BNN yang datang ke sini segera melakukan pengujian terhadap barang mencurigakan dan hasilnya positif sebagai sabu-sabu," katanya.
Berdasarkan keterangan BNN, kata dia, sabu-sabu tersebut seberat 280 gram atau senilai Rp560 juta.
Ia mengatakan, kasus tersebut selanjutnya diserahkan kepada BNN dan telah dibuat berita acara penyerahannya dengan disaksikan oleh Satgas Kamtib, seluruh kalapas se-Nusakambangan, Polres Cilacap, dan Polsek Cilacap Selatan
Menurut dia, petugas Lapas Besi yang mengaku sebagai pemilik paket tersebut hingga saat ini masih menjalani pemeriksaan oleh BNN.
Akan tetapi, dia tidak bersedia menyebutkan identitas petugas lapas tersebut.
"Kami belum bisa menyebutkan identitasnya karena masih menjalani pemeriksaan sebagai upaya untuk mengembangkan kasus tersebut termasuk kemungkinan adanya keterlibatan petugas lain," kata Mayun menegaskan.
Jika petugas tersebut terbukti bersalah, kata dia, pihaknya akan memberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku saat ini.
Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga memohon kepada BNN untuk menggelar tes urine kepada seluruh pegawai Lapas Besi termasuk para warga binaannya.
"Hari ini tes urine tersebut telah dilaksanakan," katanya.
Terkait mekanisme pengambilan paket dan surat, Kepala Lapas Batu Mirza Zulkarnain mengatakan, hal itu hanya dapat dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh masing-masing kepala lapas yang dibuktikan dengan surat tugas.
Dengan demikian, kata dia, Satgas Kamtib tidak bisa menyerahkan paket atau tersebut kepada sembarang orang.
Menurut dia, Satgas Kamtib Lapas Nusakambangan merupakan satuan tugas yang dibentuk dan bertanggung jawab langsung kepada Kanwil Kemenkumham Jateng.
"Tugas mereka berbeda dengan para petugas lapas. Mereka menjalankan perintah langsung dari kanwil, bahkan saya pun tidak bisa memerintah Satgas Kamtib ini," kata dia yang juga Koordinator Lapas se-Nusakambangan dan Cilacap.
Mengenai peranan petugas lapas khususnya Satgas Kamtib dalam pengungkapan peredaran narkotika yang diduga dikendalikan oleh Yoyo alias Edi alias "Jenderal Besar" juga disampaikan Kalapas Kembangkuning Hermawan Yunianto kepada Kapolda Jateng Inspektur Jenderal Polisi Edward Aritonang saat melakukan pertemuan dengan para kepala lapas se-Nusakambangan dan Cilacap, Selasa (1/3) siang.
"Dalam pertemuan tersebut, Pak Herry (panggilan akrab Kalapas Kembang Kuning, red.) mengatakan bahwa pengungkapan jaringan narkotika jenis sabu ini tak lepas dari peranan Satgas Kamtib karena yang pertama kali menggagalkan pengiriman sabu untuk Edi alias Yoyo," kata Kalapas Cilacap Taufiqqurahman kepada ANTARA.
Terkait hal itu, kata dia, Kapolda memberikan apresiasi kepada Satgas Kamtib yang telah berhasil menggagalkan penyelundupan sabu tersebut.
Sementara itu sejumlah petugas lapas Nusakambangan yang ditemui ANTARA, menyayangkan pemberitaan tentang terungkapnya bisnis haram "Jenderal Besar" Yoyo alias Edi yang seolah keberhasilan BNN sepenuhnya tanpa menyebutkan peranan petugas lapas.
"Petugas lapas pun turut terlibat dalam pengungkapan kasus tersebut. Oleh karena tidak memiliki kewenangan untuk menyidik, kasus tersebut dilimpahkan ke BNN. Kalau seperti ini (pemberitaan, red.), masyarakat akan beranggapan bahwa petugas lapas banyak yang bobrok dan sering berbuat kesalahan," kata salah satu petugas lapas.
Buntut dari terungkapnya peredaran narkotika di Nusakambangan, sejumlah pejabat struktural harus menerima getah dari ulah narapidana maupun sipir diduga yang terlibat bisnis haram tersebut.
"Hari ini, per tanggal 1, ada empat pejabat struktural yang sudah kami ambil langkah administratif, salah satunya kalapas (kepala lembaga pemasyarakatan, red.)," kata Kepala Kanwil Kemenkum dan HAM Jateng, Chairuddin Idrus, usai acara pencanangan program "Konservasi Nusakambangan dengan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Setempat" di Selok Jero Indralaya, Nusakambangan bagian barat, Selasa siang.
Akan tetapi dia tidak menyebutkan nama lembaga pemasyarakatan tempat keempat pejabat tersebut bekerja.
Menurut dia, para pejabat struktural ini harus bertanggung jawab meskipun tidak terlibat kasus nakotika tersebut.
Dalam hal ini, kata dia, mereka dinilai tidak bisa menjalankan tugas dengan baik.
"Sesuai undang-undang, keamanan di dalam lapas adalah tanggung jawab kepala," katanya.
Terkait pemeriksaan terhadap para sipir Nusakambangan, dia mengatakan, hal itu dilakukan terkait terungkapnya kasus peredaran narkotika di dalam lapas yang ditindaklanjuti dengan tes urine oleh Badan Narkotika Nasional (BNN).
Disinggung mengenai surat dari BNN yang menyatakan adanya sejumlah sipir Nusakambangan yang teridentifikasi menggunakan narkotika, dia mengaku belum menerimanya.
"Kanwil belum menerimanya. Surat itu langsung ke lapas, namun kemarin kami bersama inspektorat dan petugas gabungan telah melakukan pemeriksaan," katanya.
Sementara mengenai napi bernama Yoyo yang dirilis BNN sebagai otak peredaran narkotika dari dalam lapas, dia mengatakan, hingga saat ini napi tersebut masih mendekam di dalam Lapas Besi Nusakambangan.
Jika terbukti, kata dia, Yoyo kemungkinan akan mendapat hukuman baru terkait kasus tersebut selain menerima sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya di dalam lapas.
Menurut dia, hingga saat ini ada dua orang sipir lapas Nusakambangan yang menjalani pemeriksaan oleh BNN.
Chairuddin juga mengatakan, seluruh lembaga pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan tidak akan terjangkau sinyal telepon seluler mulai bulan April 2011.
"Insya Allah bulan April, seluruh lapas di Nusakambangan akan 'zero signal'. Saat ini sedang dalam proses pengadaan 'jammer' (alat pengacak sinyal telepon seluler, red.)," katanya.
Menurut dia, pemasangan alat pengacak sinyal ini diharapkan dapat memutus komunikasi telepon seluler yang dilakukan narapidana dengan orang di luar lapas.
"Kami juga telah membentuk Satgas Kamtib sebagai salah satu upaya untuk mengantisipasi hal itu," katanya.
Informasi yang dihimpun ANTARA, salah satu pejabat struktural yang dinonaktifkan dari jabatannya adalah Kalapas Besi, Dasep Suryana.
Bahkan, jabatan tersebut telah diserahterimakan dari Dasep Suryana kepada seorang pejabat yang sebelumnya bertugas di Kanwil Kemenkum dan HAM Jateng pada Selasa petang. (http://www.antarajateng.com)
Akhir Februari lalu, Badan Narkotika Nasional (BNN) merilis pengungkapan jaringan peredaran narkotika jenis sabu yang dikendalikan dari salah satu lembaga pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Konon, jaringan yang memiliki omzet hingga Rp20 miliar per hari ini dikendalikan oleh seorang narapidana kasus narkoba bernama Yoyo yang memiliki julukan "Jenderal Besar".
Informasi yang dihimpun ANTARA, terungkapnya bisnis sang "Jenderal Besar" ini tak lepas dari peranan sipir atau petugas lapas di Pulau Nusakambangan, khususnya Satuan Tugas Keamanan dan Ketertiban (Satgas Kamtib) yang bertugas di Dermaga Wijayapura Cilacap.
Satgas Kamtib inilah yang pertama kali membongkar upaya pengiriman narkotika jenis sabu seberat 280 gram yang ditujukan untuk Edi di Lapas Besi di Pulau Nusakambangan melalui jasa travel.
"Edi itu ternyata adalah Yoyo. Dia sengaja menggunakan nama Edy dalam pengiriman paket sabu tersebut," kata seorang anggota Satgas Kamtib kepada ANTARA di Dermaga Wijayapura, Selasa (1/3) sore.
Berdasarkan catatan ANTARA, upaya pengiriman atau penyelundupan sabu tersebut terbongkar pada akhir Januari silam.
"Upaya penyelundupan ini terkuak ketika tim Satgas Kamtib Lapas Nusakambangan yang bertugas di Dermaga Wijayapura, Cilacap, menerima sebuah paket yang dikirimkan melalui sebuah travel pada hari Jumat (21/1), pukul 08.30 WIB," kata Kepala Divisi Pemasyarakatan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Provinsi Jawa Tengah, Mayun Mataram, di Dermaga Wijayapura, Cilacap, Rabu (26/1) petang.
Akan tetapi, kata dia, alamat pengirim maupun tujuan paket yang diterima Komandan Satgas Kamtib, Tunggul Wiryawan tersebut tidak tertulis dengan jelas karena alamat pengirim hanya tertulis nama Leo, Jakarta, dan sebuah nomor telepon seluler, sedangkan alamat tujuan hanya tertulis nama Edi, LP Besi, dan sebuah nomor telepon seluler.
Bahkan, nomor telepon seluler yang tercantum tidak bisa dihubungi oleh Satgas Kamtib sehingga paket itupun ditahan oleh petugas dan selanjutnya diserahkan kepada tim Satgas Kamtib yang bertugas malam.
Pada malam harinya, seorang petugas Lapas Besi datang ke Pos Dermaga Wijayapura dan hendak mengambil paket tersebut.
Satgas Kamtib pun tidak bersedia menyerahkan paket kepada petugas lapas tersebut karena sesuai ketentuan, paket atau surat hanya dapat diambil petugas yang ditunjuk oleh masing-masing kepala lapas.
Setelah berdebat cukup lama, mereka sepakat untuk membuka paket tersebut di pos penjagaan dan Satgas Kamtib akan menahan paket jika menemukan barang mencurigakan.
Saat paket tersebut dibuka, Satgas menemukan kemasan sebuah produk sereal yang mencurigakan karena dari tiga kemasan produk sejenis, hanya satu yang dilakban.
"Ketika lakban tersebut dibuka, ternyata terdapat sebuah kantong berisi serbuk warna putih yang dicurigai sebagai sabu-sabu," kata Mayun.
Ia mengatakan, penemuan paket yang dicurigai berisi barang haram tersebut semula hendak dilaporkan kepada Kepolisian Resor Cilacap untuk ditindaklanjuti.
Menurut dia, hal itu dilakukan karena Satgas Kamtib Lapas Nusakambangan belum memiliki kemahiran maupun dilengkapi alat untuk mengenali narkotika.
"Namun kami menerima informasi jika upaya penyelundupan tersebut sudah diintai oleh BNN. Keesokan harinya, BNN yang datang ke sini segera melakukan pengujian terhadap barang mencurigakan dan hasilnya positif sebagai sabu-sabu," katanya.
Berdasarkan keterangan BNN, kata dia, sabu-sabu tersebut seberat 280 gram atau senilai Rp560 juta.
Ia mengatakan, kasus tersebut selanjutnya diserahkan kepada BNN dan telah dibuat berita acara penyerahannya dengan disaksikan oleh Satgas Kamtib, seluruh kalapas se-Nusakambangan, Polres Cilacap, dan Polsek Cilacap Selatan
Menurut dia, petugas Lapas Besi yang mengaku sebagai pemilik paket tersebut hingga saat ini masih menjalani pemeriksaan oleh BNN.
Akan tetapi, dia tidak bersedia menyebutkan identitas petugas lapas tersebut.
"Kami belum bisa menyebutkan identitasnya karena masih menjalani pemeriksaan sebagai upaya untuk mengembangkan kasus tersebut termasuk kemungkinan adanya keterlibatan petugas lain," kata Mayun menegaskan.
Jika petugas tersebut terbukti bersalah, kata dia, pihaknya akan memberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku saat ini.
Selain itu, lanjutnya, pihaknya juga memohon kepada BNN untuk menggelar tes urine kepada seluruh pegawai Lapas Besi termasuk para warga binaannya.
"Hari ini tes urine tersebut telah dilaksanakan," katanya.
Terkait mekanisme pengambilan paket dan surat, Kepala Lapas Batu Mirza Zulkarnain mengatakan, hal itu hanya dapat dilakukan oleh petugas yang ditunjuk oleh masing-masing kepala lapas yang dibuktikan dengan surat tugas.
Dengan demikian, kata dia, Satgas Kamtib tidak bisa menyerahkan paket atau tersebut kepada sembarang orang.
Menurut dia, Satgas Kamtib Lapas Nusakambangan merupakan satuan tugas yang dibentuk dan bertanggung jawab langsung kepada Kanwil Kemenkumham Jateng.
"Tugas mereka berbeda dengan para petugas lapas. Mereka menjalankan perintah langsung dari kanwil, bahkan saya pun tidak bisa memerintah Satgas Kamtib ini," kata dia yang juga Koordinator Lapas se-Nusakambangan dan Cilacap.
Mengenai peranan petugas lapas khususnya Satgas Kamtib dalam pengungkapan peredaran narkotika yang diduga dikendalikan oleh Yoyo alias Edi alias "Jenderal Besar" juga disampaikan Kalapas Kembangkuning Hermawan Yunianto kepada Kapolda Jateng Inspektur Jenderal Polisi Edward Aritonang saat melakukan pertemuan dengan para kepala lapas se-Nusakambangan dan Cilacap, Selasa (1/3) siang.
"Dalam pertemuan tersebut, Pak Herry (panggilan akrab Kalapas Kembang Kuning, red.) mengatakan bahwa pengungkapan jaringan narkotika jenis sabu ini tak lepas dari peranan Satgas Kamtib karena yang pertama kali menggagalkan pengiriman sabu untuk Edi alias Yoyo," kata Kalapas Cilacap Taufiqqurahman kepada ANTARA.
Terkait hal itu, kata dia, Kapolda memberikan apresiasi kepada Satgas Kamtib yang telah berhasil menggagalkan penyelundupan sabu tersebut.
Sementara itu sejumlah petugas lapas Nusakambangan yang ditemui ANTARA, menyayangkan pemberitaan tentang terungkapnya bisnis haram "Jenderal Besar" Yoyo alias Edi yang seolah keberhasilan BNN sepenuhnya tanpa menyebutkan peranan petugas lapas.
"Petugas lapas pun turut terlibat dalam pengungkapan kasus tersebut. Oleh karena tidak memiliki kewenangan untuk menyidik, kasus tersebut dilimpahkan ke BNN. Kalau seperti ini (pemberitaan, red.), masyarakat akan beranggapan bahwa petugas lapas banyak yang bobrok dan sering berbuat kesalahan," kata salah satu petugas lapas.
Buntut dari terungkapnya peredaran narkotika di Nusakambangan, sejumlah pejabat struktural harus menerima getah dari ulah narapidana maupun sipir diduga yang terlibat bisnis haram tersebut.
"Hari ini, per tanggal 1, ada empat pejabat struktural yang sudah kami ambil langkah administratif, salah satunya kalapas (kepala lembaga pemasyarakatan, red.)," kata Kepala Kanwil Kemenkum dan HAM Jateng, Chairuddin Idrus, usai acara pencanangan program "Konservasi Nusakambangan dengan Pendekatan Pemberdayaan Masyarakat Setempat" di Selok Jero Indralaya, Nusakambangan bagian barat, Selasa siang.
Akan tetapi dia tidak menyebutkan nama lembaga pemasyarakatan tempat keempat pejabat tersebut bekerja.
Menurut dia, para pejabat struktural ini harus bertanggung jawab meskipun tidak terlibat kasus nakotika tersebut.
Dalam hal ini, kata dia, mereka dinilai tidak bisa menjalankan tugas dengan baik.
"Sesuai undang-undang, keamanan di dalam lapas adalah tanggung jawab kepala," katanya.
Terkait pemeriksaan terhadap para sipir Nusakambangan, dia mengatakan, hal itu dilakukan terkait terungkapnya kasus peredaran narkotika di dalam lapas yang ditindaklanjuti dengan tes urine oleh Badan Narkotika Nasional (BNN).
Disinggung mengenai surat dari BNN yang menyatakan adanya sejumlah sipir Nusakambangan yang teridentifikasi menggunakan narkotika, dia mengaku belum menerimanya.
"Kanwil belum menerimanya. Surat itu langsung ke lapas, namun kemarin kami bersama inspektorat dan petugas gabungan telah melakukan pemeriksaan," katanya.
Sementara mengenai napi bernama Yoyo yang dirilis BNN sebagai otak peredaran narkotika dari dalam lapas, dia mengatakan, hingga saat ini napi tersebut masih mendekam di dalam Lapas Besi Nusakambangan.
Jika terbukti, kata dia, Yoyo kemungkinan akan mendapat hukuman baru terkait kasus tersebut selain menerima sanksi atas pelanggaran yang dilakukannya di dalam lapas.
Menurut dia, hingga saat ini ada dua orang sipir lapas Nusakambangan yang menjalani pemeriksaan oleh BNN.
Chairuddin juga mengatakan, seluruh lembaga pemasyarakatan di Pulau Nusakambangan tidak akan terjangkau sinyal telepon seluler mulai bulan April 2011.
"Insya Allah bulan April, seluruh lapas di Nusakambangan akan 'zero signal'. Saat ini sedang dalam proses pengadaan 'jammer' (alat pengacak sinyal telepon seluler, red.)," katanya.
Menurut dia, pemasangan alat pengacak sinyal ini diharapkan dapat memutus komunikasi telepon seluler yang dilakukan narapidana dengan orang di luar lapas.
"Kami juga telah membentuk Satgas Kamtib sebagai salah satu upaya untuk mengantisipasi hal itu," katanya.
Informasi yang dihimpun ANTARA, salah satu pejabat struktural yang dinonaktifkan dari jabatannya adalah Kalapas Besi, Dasep Suryana.
Bahkan, jabatan tersebut telah diserahterimakan dari Dasep Suryana kepada seorang pejabat yang sebelumnya bertugas di Kanwil Kemenkum dan HAM Jateng pada Selasa petang. (http://www.antarajateng.com)
Membaca Pertanda Zaman Melalui Jamasan Jimat Kalisalak
Jumat, 18 Peb 2011 07:00:21 WIB | Oleh : Sumarwoto/ M Hari Atmoko
"Caritaneng pahargyan samangkyo rantamanipun hadyane sirih lan kurebe, andadosno bengeting promanggolo yudo sabdo kang linuwih andadosno runtiking manah kalyan jejering kawulo gusti projo meniko satu anggiatno pralambang".
Kalimat tersebut penggalan naskah Jawa Kuno dalam keropak daun lontar peninggalan Raja Mataram Amangkurat I yang dibacakan saat "Jamasan Jimat Kalisalak" di Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (17/2).
Menurut Ketua Panitia Pelaksana Jamasan, Ilham Triyono, kalimat dalam bahasa Jawa Kuno dan ditulis menggunakan huruf Jawa ini jika diterjemahkan, mengandung pesan moral.
"Jika diterjemahkan secara bebas, dapat dimaknakan 'dalam runtutan acara seperti daun sirih, telentang dan tengkurap sama saja sehingga mengakibatkan bingung prajurit, ucapan yang berlebihan mengakibatkan semua itu menjadi sirik, status sebagai umat Tuhan, hanya menjadi simbol," katanya.
Selain tulisan dalam keropak daun lontar, dalam jamasan tersebut juga dibacakan sebuah tulisan dalam sebuah buku kuno, yakni "kawulo ngajeng linuwih dhedhelikan ngramun praja, lamun dendulu kadya ramat".
Jika diterjemahkan, kalimat tersebut mengandung makna "saya berharap bagi para pemimpin yang ada di depan, memiliki kelebihan merumuskan ketenangan negara secara diam-diam ibarat jaring laba-laba".
"Silakan masyarakat yang menafsirkan sendiri makna dari semua kejadian dalam jamasan ini. Tapi perlu kami ingatkan, ini bukan sebuah ramalan," kata Ilham.
Menurut dia, tulisan-tulisan dalam keropak daun lontar maupun buku kuno belum tentu dapat dibaca secara jelas setiap kali jamasan.
"Tulisan-tulisan tersebut kadang bisa terbaca, kadang tidak bisa. Tulisan yang terbaca juga berbeda-beda setiap kali jamasan," katanya.
Oleh karena itu, selain untuk membersihkan jimat atau benda-benda pusaka, masyarakat setempat memanfaatkan tradisi jamasan ini untuk membaca tanda-tanda zaman.
Dalam hal ini, kata dia, jumlah maupun bentuk benda-benda pusaka peninggalan Amangkurat I tersebut sering kali berubah dan kadang kala muncul benda baru.
Padahal, kata dia, benda-benda pusaka tersebut dikeluarkan dari tempatnya di Langgar Jimat hanya satu tahun sekali, yakni pada acara jamasan yang digelar setiap tanggal 12 Mulud Tahun Jawa berdasarkan hitungan Aboge.
"Hal ini oleh masyarakat diyakini sebagai suatu pertanda yang bakal terjadi di masa mendatang," katanya.
Menurut dia, salah satu keunikan yang muncul pada jamasan kali ini adalah adanya bangkai sejenis belalang yang merupakan hama tanaman di dalam "bekong" atau alat penakar beras.
"Belalang yang telah mengering ini masuknya entah lewat mana. Kami tidak bisa bicara banyak, silakan masyarakat tafsirkan sendiri," katanya.
Selain menemukan adanya bangkai belalang, kata dia, pada jamasan kali ini juga ditemukan sebuah "piti" (wadah kecil yang terbuat dari anyaman bambu) yang berisi akar "jenu", yakni tanaman yang bisa memabukkan dan biasa digunakan untuk menangkap ikan di sungai, serta sebuah kepompong yang berisi sebuah benda yang mirip boneka.
"Bahkan ada satu 'piti' yang biasanya kosong, pada jamasan ini diketahui berisi satu gulung benang 'lawe'," katanya.
Sementara benda berupa "unduk kebo" (miniatur kepala kerbau berukuran kecil), kata dia, pada jamasan kali ini terlihat sangat bersih, padahal saat jamasan sebelumnya terlihat sangat kusam.
"Benda berupa 'unduk kebo' ini pertama kali muncul pada jamasan tahun 2000," kata Kepala Desa Kalisalak, Bambang Setiadi.
Menurut dia, jumlah kepingan uang yang tersimpan di dalam langgar juga berkurang.
Pada jamasan tahun lalu, kata dia, jumlah uang sebanyak 60 keping tetapi sekarang hanya 58 keping.
"Bahkan jumlah uang yang ada dalam ikatan juga berubah karena pada jamasan sebelumnya ada 15 keping, sekarang menjadi 16 keping. Demikian pula dengan kepingan tembaga yang semula terdapat 33 keping, sekarang hanya 31 keping," katanya.
Terkait perubahan jumlah maupun bentuk serta munculnya benda-benda baru tersebut, dia mengatakan, masyarakat diharapkan tidak menganggapnya sebagai sebuah ramalan.
"Namun jika ada yang ingin menafsirkannya, silakan tafsirkan secara pribadi," katanya.
Prosesi Jamasan
Prosesi jamasan ini diawali dengan Kirab Kerabat yang diberangkatkan dari Balai Desa Kalisalak menuju Langgar Jimat yang berjarak sekitar dua kilometer.
Iring-iringan kirab ini terdiri barisan putri domas yang membawa "uba rampe" (berbagai sarana jamasan), pasukan genderang, pasukan "bregada" (pasukan perang), pembawa tandu tempat "mrapen" (pembakar dupa), barisan kerabat Langgar Jimat Kalisalak maupun kerabat Kerajaan Mataram, dan tim kesenian.
Sesampainya di Langgar Jimat, "uba rampe" tersebut diserahkan kepada juru kunci langgar, Kiai Sanmuraji.
Selain itu, Kiai Sanmuraji juga menerima penyerahan sebuah tombak peninggalan Sunan Amangkurat I dari seorang prajurit "bregada".
Akan tetapi, panitia jamasan tidak menyebutkan nama tombak yang diserahkan tersebut.
"Belum saatnya untuk disebutkan, mungkin tahun-tahun berikutnya. Kami masih menunggu 'sinyal' (wangsit, red.)," kata Ketua Panitia Pelaksana Jamasan Jimat Kalisalak, Ilham Triyono.
Setelah itu, seluruh benda yang tersimpan di dalam Langgar Jimat dikeluarkan untuk dijamas oleh para penjamas di atas altar yang berada di depan bangunan tersebut.
Satu per satu benda dikeluarkan dari tempatnya yang selanjutnya untuk dijamas dan dihitung jumlahnya.
Benda yang pertama kali dijamas berupa "bekong" atau alat penakar beras disusul benda-benda lainnya.
Sebelum dijamas, benda-benda pusaka tersebut diasapkan lebih dulu di atas "mrapen" atau "pedupan" berupa tempat pembakaran kemenyan.
Selanjutnya, benda-benda yang terbuat dari logam dicuci menggunakan air bunga dan jeruk nipis sedangkan benda dari kain dan bambu hanya diasapkan saja.
Penjamasan dilakukan di atas altar dan para penjamasnya harus berdiri dengan kaki bertumpu pada injakan yang berada di bawah altar.
Selama prosesi penjamasan tersebut berlangsung, dilakukan pendataan terhadap benda-benda pusaka ini untuk dicocokkan dengan hasil pendataan tahun sebelumnya.
Selain itu, panitia juga menjelaskan nama dan kegunaan setiap benda pusaka yang dijamas tersebut.
Setelah itu, benda-benda pusaka tersebut dikembalikan lagi ke dalam langgar yang telah dibersihkan dan dipasang kain mori baru. Langgar ini akan kembali dibuka pada prosesi jamasan tahun depan.
Seperti diketahui, masyarakat Desa Kalisalak mempercayai jika pusaka dan kitab yang selama ini disimpan di sebuah bangunan yang dikenal dengan "Langgar Jimat Kalisalak" merupakan benda-benda Amangkurat I yang bertuah.
Bahkan, masyarakat setempat juga meyakini pusaka dan kitab-kitab tersebut sebagai benda keramat dan memiliki daya magis.
Hal ini disebabkan setiap kali penjamasan, bentuk dan jumlah benda yang tersimpan sering kali berubah dan kadang muncul benda-benda baru, sehingga masyarakat meyakini penjamasan tersebut tidak sekadar mencuci benda keramat tetapi juga membaca tanda zaman.
Sementara sosok Amangkurat I adalah Raja Mataram yang bertahta pada 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Raden Ayu Wetan (Kanjeng Ratu Kulon), putri keturunan Ki Juru Martani yang merupakan saudara dari Ki Ageng Pemanahan.
Sosok yang memiliki nama kecil Mas Sayidin, yang ketika menjadi putera mahkota diganti dengan gelar Pangeran Arya Mataram atau Pangeran Ario Prabu Adi Mataram tersebut berusaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram.
Amangkurat dikabarkan sempat singgah di Kalisalak, dan meninggalkan pusaka-pusaka itu agar tak membebani perjalanannya menuju Batavia. Amangkurat menuju ke Batavia untuk meminta bantuan VOC lantaran dikejar pasukan Trunojoyo yang memberontak sekitar 1676-1677. (http://www.antarajateng.com)
"Caritaneng pahargyan samangkyo rantamanipun hadyane sirih lan kurebe, andadosno bengeting promanggolo yudo sabdo kang linuwih andadosno runtiking manah kalyan jejering kawulo gusti projo meniko satu anggiatno pralambang".
Kalimat tersebut penggalan naskah Jawa Kuno dalam keropak daun lontar peninggalan Raja Mataram Amangkurat I yang dibacakan saat "Jamasan Jimat Kalisalak" di Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis (17/2).
Menurut Ketua Panitia Pelaksana Jamasan, Ilham Triyono, kalimat dalam bahasa Jawa Kuno dan ditulis menggunakan huruf Jawa ini jika diterjemahkan, mengandung pesan moral.
"Jika diterjemahkan secara bebas, dapat dimaknakan 'dalam runtutan acara seperti daun sirih, telentang dan tengkurap sama saja sehingga mengakibatkan bingung prajurit, ucapan yang berlebihan mengakibatkan semua itu menjadi sirik, status sebagai umat Tuhan, hanya menjadi simbol," katanya.
Selain tulisan dalam keropak daun lontar, dalam jamasan tersebut juga dibacakan sebuah tulisan dalam sebuah buku kuno, yakni "kawulo ngajeng linuwih dhedhelikan ngramun praja, lamun dendulu kadya ramat".
Jika diterjemahkan, kalimat tersebut mengandung makna "saya berharap bagi para pemimpin yang ada di depan, memiliki kelebihan merumuskan ketenangan negara secara diam-diam ibarat jaring laba-laba".
"Silakan masyarakat yang menafsirkan sendiri makna dari semua kejadian dalam jamasan ini. Tapi perlu kami ingatkan, ini bukan sebuah ramalan," kata Ilham.
Menurut dia, tulisan-tulisan dalam keropak daun lontar maupun buku kuno belum tentu dapat dibaca secara jelas setiap kali jamasan.
"Tulisan-tulisan tersebut kadang bisa terbaca, kadang tidak bisa. Tulisan yang terbaca juga berbeda-beda setiap kali jamasan," katanya.
Oleh karena itu, selain untuk membersihkan jimat atau benda-benda pusaka, masyarakat setempat memanfaatkan tradisi jamasan ini untuk membaca tanda-tanda zaman.
Dalam hal ini, kata dia, jumlah maupun bentuk benda-benda pusaka peninggalan Amangkurat I tersebut sering kali berubah dan kadang kala muncul benda baru.
Padahal, kata dia, benda-benda pusaka tersebut dikeluarkan dari tempatnya di Langgar Jimat hanya satu tahun sekali, yakni pada acara jamasan yang digelar setiap tanggal 12 Mulud Tahun Jawa berdasarkan hitungan Aboge.
"Hal ini oleh masyarakat diyakini sebagai suatu pertanda yang bakal terjadi di masa mendatang," katanya.
Menurut dia, salah satu keunikan yang muncul pada jamasan kali ini adalah adanya bangkai sejenis belalang yang merupakan hama tanaman di dalam "bekong" atau alat penakar beras.
"Belalang yang telah mengering ini masuknya entah lewat mana. Kami tidak bisa bicara banyak, silakan masyarakat tafsirkan sendiri," katanya.
Selain menemukan adanya bangkai belalang, kata dia, pada jamasan kali ini juga ditemukan sebuah "piti" (wadah kecil yang terbuat dari anyaman bambu) yang berisi akar "jenu", yakni tanaman yang bisa memabukkan dan biasa digunakan untuk menangkap ikan di sungai, serta sebuah kepompong yang berisi sebuah benda yang mirip boneka.
"Bahkan ada satu 'piti' yang biasanya kosong, pada jamasan ini diketahui berisi satu gulung benang 'lawe'," katanya.
Sementara benda berupa "unduk kebo" (miniatur kepala kerbau berukuran kecil), kata dia, pada jamasan kali ini terlihat sangat bersih, padahal saat jamasan sebelumnya terlihat sangat kusam.
"Benda berupa 'unduk kebo' ini pertama kali muncul pada jamasan tahun 2000," kata Kepala Desa Kalisalak, Bambang Setiadi.
Menurut dia, jumlah kepingan uang yang tersimpan di dalam langgar juga berkurang.
Pada jamasan tahun lalu, kata dia, jumlah uang sebanyak 60 keping tetapi sekarang hanya 58 keping.
"Bahkan jumlah uang yang ada dalam ikatan juga berubah karena pada jamasan sebelumnya ada 15 keping, sekarang menjadi 16 keping. Demikian pula dengan kepingan tembaga yang semula terdapat 33 keping, sekarang hanya 31 keping," katanya.
Terkait perubahan jumlah maupun bentuk serta munculnya benda-benda baru tersebut, dia mengatakan, masyarakat diharapkan tidak menganggapnya sebagai sebuah ramalan.
"Namun jika ada yang ingin menafsirkannya, silakan tafsirkan secara pribadi," katanya.
Prosesi Jamasan
Prosesi jamasan ini diawali dengan Kirab Kerabat yang diberangkatkan dari Balai Desa Kalisalak menuju Langgar Jimat yang berjarak sekitar dua kilometer.
Iring-iringan kirab ini terdiri barisan putri domas yang membawa "uba rampe" (berbagai sarana jamasan), pasukan genderang, pasukan "bregada" (pasukan perang), pembawa tandu tempat "mrapen" (pembakar dupa), barisan kerabat Langgar Jimat Kalisalak maupun kerabat Kerajaan Mataram, dan tim kesenian.
Sesampainya di Langgar Jimat, "uba rampe" tersebut diserahkan kepada juru kunci langgar, Kiai Sanmuraji.
Selain itu, Kiai Sanmuraji juga menerima penyerahan sebuah tombak peninggalan Sunan Amangkurat I dari seorang prajurit "bregada".
Akan tetapi, panitia jamasan tidak menyebutkan nama tombak yang diserahkan tersebut.
"Belum saatnya untuk disebutkan, mungkin tahun-tahun berikutnya. Kami masih menunggu 'sinyal' (wangsit, red.)," kata Ketua Panitia Pelaksana Jamasan Jimat Kalisalak, Ilham Triyono.
Setelah itu, seluruh benda yang tersimpan di dalam Langgar Jimat dikeluarkan untuk dijamas oleh para penjamas di atas altar yang berada di depan bangunan tersebut.
Satu per satu benda dikeluarkan dari tempatnya yang selanjutnya untuk dijamas dan dihitung jumlahnya.
Benda yang pertama kali dijamas berupa "bekong" atau alat penakar beras disusul benda-benda lainnya.
Sebelum dijamas, benda-benda pusaka tersebut diasapkan lebih dulu di atas "mrapen" atau "pedupan" berupa tempat pembakaran kemenyan.
Selanjutnya, benda-benda yang terbuat dari logam dicuci menggunakan air bunga dan jeruk nipis sedangkan benda dari kain dan bambu hanya diasapkan saja.
Penjamasan dilakukan di atas altar dan para penjamasnya harus berdiri dengan kaki bertumpu pada injakan yang berada di bawah altar.
Selama prosesi penjamasan tersebut berlangsung, dilakukan pendataan terhadap benda-benda pusaka ini untuk dicocokkan dengan hasil pendataan tahun sebelumnya.
Selain itu, panitia juga menjelaskan nama dan kegunaan setiap benda pusaka yang dijamas tersebut.
Setelah itu, benda-benda pusaka tersebut dikembalikan lagi ke dalam langgar yang telah dibersihkan dan dipasang kain mori baru. Langgar ini akan kembali dibuka pada prosesi jamasan tahun depan.
Seperti diketahui, masyarakat Desa Kalisalak mempercayai jika pusaka dan kitab yang selama ini disimpan di sebuah bangunan yang dikenal dengan "Langgar Jimat Kalisalak" merupakan benda-benda Amangkurat I yang bertuah.
Bahkan, masyarakat setempat juga meyakini pusaka dan kitab-kitab tersebut sebagai benda keramat dan memiliki daya magis.
Hal ini disebabkan setiap kali penjamasan, bentuk dan jumlah benda yang tersimpan sering kali berubah dan kadang muncul benda-benda baru, sehingga masyarakat meyakini penjamasan tersebut tidak sekadar mencuci benda keramat tetapi juga membaca tanda zaman.
Sementara sosok Amangkurat I adalah Raja Mataram yang bertahta pada 1646-1677. Ia adalah anak dari Sultan Agung Hanyokrokusumo dan Raden Ayu Wetan (Kanjeng Ratu Kulon), putri keturunan Ki Juru Martani yang merupakan saudara dari Ki Ageng Pemanahan.
Sosok yang memiliki nama kecil Mas Sayidin, yang ketika menjadi putera mahkota diganti dengan gelar Pangeran Arya Mataram atau Pangeran Ario Prabu Adi Mataram tersebut berusaha untuk mempertahankan wilayah kekuasaan Kesultanan Mataram.
Amangkurat dikabarkan sempat singgah di Kalisalak, dan meninggalkan pusaka-pusaka itu agar tak membebani perjalanannya menuju Batavia. Amangkurat menuju ke Batavia untuk meminta bantuan VOC lantaran dikejar pasukan Trunojoyo yang memberontak sekitar 1676-1677. (http://www.antarajateng.com)
Langganan:
Postingan (Atom)